2/28/2008

Atas nama-Mu aku !

Oleh : S. Rijalullah

Muqadimah
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling, maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Rabb yang memiliki 'arasy yang agung". (at-Taubah ayat 128129)

Cahaya Ilmu

Al ‘Ilmu nurrun

Aj Jahlu dzolam

Syair itu dilantunkan dalam nyanyian khas pesantren untuk menunggu waktu sholat. Itu dulu, waktu jaman kecil saya, dilantukan di langgar-langgar dan pesantren-pesantren tradisional. Ilmu adalah cahaya, kebodohan adalah kegelapan.

Menafsir ayat 276 Surat Al-Baqoroh: “Tidak ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah jelas antara kebaikan dan keburukan…..Allah adalah pelindung orang-orang beriman yang memasukan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dan bagi orang ingkar pelindung mereka adalah Thaghut (apa yang mereka Tuhankan selain Allah), yang memasukan mereka dari cahaya menuju kegelapan.

Garis batas antara jaman pra Islam dan Islam adalah perubahan dari jaman Jahiliyah menuju jaman keselamatan. Perubahan dari peradaban yang gulita menjadi peradaban yang penuh cahaya.

Peradaban pra-Islam disebut sebagai perdaban jahiliyah. Jahiliyah berasal dari kata jahala-jahlun yang berarti bodoh. Yaitu zaman kebodohan budipekerti, kebodohan nilai-nilai kemanusiaan, dan kebodohan nilai-nilai spiritual. Dan bukan semata-mata kebodohan teknologi dan intelektualitas. Karena bangsa Arab waktu itu pandai juga berdagang dan bersyair. Dan sudah menjadi tradisi mereka untuk menghapal syair-syair yang beribu-ribu bait banyaknya. Tapi mereka mengalami kebodohan budi pekerti. Dalam hal kesusilaan mereka biasa berpesta dengan tarian perut para budak wanita, dan telanjang mengelilingi ka’bah, berjual beli wanita, menukarkan anak gadisnya dengan anak gadis sahabatnya untuk saling diperistri, mewarisi gundik orang tuanya. Dalam hal kemanusiaa mereka biasa mengubur hidup-hidup anak perempuannya, bunuh membunuh antar suku, peperangan antar suku, penindasan terhadap orang-orang lemah, perampokan dan lain sebagainya.

Peradaban jahiliyah pada mulanya adalah orang-orang yang paham Al-Kitab yang kemudian dengan sadar mengingkarinya. Keingkaran itu disebabkan oleh ketertundukkan para Ahli Kitab tersebut terhadap hawa nafsu. Baik berupa harta, tahta maupun wanita. Akibatnya adalah pada generasi selanjutnya adalah terjadi pembodohan, generasi yang sama sekali tidak paham lagi terhadap kitab. Dan pada periode berikutnya jadilah sebuah peradaban yang tidak mampu memberikan pencerahan terhadap masyarakanya, peradaban yang tak mampu lagi memberikan pemahaman generasinya terhadap nilai-nilai moral, kesusilaan, budi pekerti dan kemanusiaan, apalagi nilai-nilai keilahian.

Dan kini kita hidup dalam jangka waktu 14 abad setelah pencerahan dunia oleh Islam. Rupa-rupanya Allah hendak membuktikan kepada kita bahwa sunnah-Nya adalah sesuatu yang berulang. “Wa lan tajida lisunnatillahi tabdila..” Tidak akan ada perubahan dala sunnah-Allah. Kini dihadapan kita terjadi fenomena yang sama persis 14 abad yang lampau, gadis-gadis bertelanjang perut, free sex, pembunuhan, perampokan, dan penindasan, perang antar kelompok, dan pelaku-pelakunya adalah orang-orang yang bodoh (jahil). Karena peradaban mereka tidak lagi mampu mengenalkan, mengajari, menuntun mereka menuju cahaya moralitas, budi pekerti, perikemanusiaan dan keilahian.

Para Ahli Kitab-nya pun cenderung permisif, toleran terhadap kemasiatan, ya karena mereka sendiri menikmati itu semua, mereka mengaburkan antara boleh dan tidak boleh, haram dan halal, patut dan tidak patut. Dengan berbagai dalih mereka berusaha melegalisasi berbagai bentuk-bentuk pemenuhan hawa nafsu, ujungnya sama harta, tahta dan wanita.

Syi’ir sederhana yang dulu sering terdengar.

Al-‘ilmu Nurrun (ilmu adalah cahaya)

Aj-Jahlu Dzolam (kebodohan kegelapan).

Semakin parau dan hilang, karena dunia semakin gelap, manusia menyombongkan ilmu-ilmu dunia, yang sebenarnya hanya senjata kecil. Karena science hanya mampu digerakan oleh tangan manusia, tapi tak bisa menggerakan nurani manusia. Ia bisa menjadi sarana kebaikan dan kejahatan, tergantung hati manusia yang menggerakan.

Inilah abad hakekat kegelapan jahiliyah dunia modern, dengan tanda-tanda yang secuilpun meragukannya. Tapi masalahnya siapa yang akan mewakili Nabi Terakhir Muhammad SAW untuk pencerahan dunia modern ini?

Pendidikan Anak Yang Visioner

“Ajarilah anak-anakmu berkuda, memanah dan berenang! Karena engkau tidak tahu dunia mereka esok” demikian kira-kira petuah Rasulullah kepada orang tua untuk dalam mendidik anak-anaknya. Sebuah petuah sederhana yang visioner. Sederhana karena berkuda, memanah dan berenang adalah sebuah ketrampilan dasar bagi manusia. Visioner karena ketiga ketrampilan itu akan dapat dipergunakan untuk survival di tempat manapun didunia. Berenang pun perlu diajarkan meski kehidupan Rasulullah waktu itu berada di jazirah gurun yang sedikit air, tapi begitulah karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada dunia anak-anak kita besok.

Berawal dari itu, mari kita bercoba untuk lebih memaknai hadis itu secara lebih inspiratif. Paling tidak mencoba menterjemahkan hadis tersebut secara simbolik, bahwa berkuda memanah dan berenang dapat diperluas kemaknaannya tidak hanya secara harfiah saja.

Berkuda pada hakekatnya adalah penggunaan sarana transportasi untuk keperluan perjalanan, baik untuk beribadah secara mahdiah seperti berhaji atau untuk peniagaan serta kegiatan yang bersifat sosia atau bahkan politik. Untuk hidup di dunia modern seperti sekarang ini tentu saja sarana transportasi yang diperlukan bukan lagi berkuda atau menunggang unta, sarana transportasi sudah berkembang begitu pesat mulai dari sepeda onthel sampai pesawat jet dengan kecepatan diatas kecepatan suara. Bukan lagi sekedar kuda yang merangkat diatas tanah, tetapi kapal yang menyebrang samudra sampai pesawat yang mengudara lintas benua, bahkan roket yang meluncur ke antariksa.

Kuda juga berperan dalam politik, keperkasaan suatu negeri tercermin dalam gagahnya pasukan kavaleri-yang bahkan dalam Al-Quran menjadi salah satu nama surat; Al-‘Adiyyat (kuda yang berlari kencang). Yang meninggalkan debu menggumpal menggentarkan hati musuh. Dan sekarang telah ada pasukan artileri dengan kendaraan tank baja yang mampu meluluh-lantakan kota dalam waktu singkat. Dari udara bukan lagi lemparan batu berapi dari burung Ababil, tetapi manusia menirunya dengan menggunakan pesawat-pesawat tempur yang mejatuhkan segala jenis senjata penghancur.

Dalam bidang sosial sarana transportasi sangat berperan dalam proses ekonomi, distribusi logistic dan perniagaan antar benua. Kalau di masa lalu terjadi pemusatan jalur perdagangan darat seperti jalur sutra yang membentang dari Asia Timur sampai Asia Barat bahkan Eropa, kemudian berganti dengan jalur samudra yang menciptakan pelabuhan-pelabuhan niaga. Maka hari ini sentra niaga menjadi lebih kabur lagi lagi karena sudah tidak ditentukan lagi letak geografis, segala tempat di dunia sudah dapat dijangkau dalam hitungan jam dengan pesawat.

Yang kedua dari nasihat Rasulullah adalah mengajari anak-anak ketrampilan memanah. Memanah adalah alat untuk membidik binatang buruan untuk memenuhi kebutuhan hidup sekaligus senjata untuk menyerang musuh maupun mempertahankan diri. Sesungguhnya satu dari hikmah pelajaran memanah adalah mengajari anak-anak kita untuk belajar mencari nafkah untuk dirinya, karena dalam Islam kewajiban menafkahi dirinya dmulai ketika seorang anak laki-laki telah baligh, atau taklif (menanggung beban). Berjuang mempertahankan kehidupannya itu paling tidak makna kecil dari memanah. Memanah dalam arti yang lebih besar adalah menguasai teknologi persenjataan untuk bisa mempertahankan dan menjadikan kejaayaan suatu Negara. Panah hari ini telah berubah menjadi senjata otomat sampai rudal penghancur masal. Pada akhirnya Negara yang paling tinggi teknologi persenjataannya akan mampu mendominasi dunia.

Makna berenang secara filosofis adalah bagaimana mendidik anak bersosialisasi dengan lingkungannya, sekaligus belajar bagaimana ia harus senantiasa beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Karena hanya dengan cara inilah ia bisa diterima dimasyarakat dan bertahan di tengah masyarakat. Berenang adalalah penguasaan teknologi bahari, mulai dari kapal nelayan sampai kapal angkut raksasa. Mulai dari kapal layer yang mengapung diterpa angina sampai kapal selam di dasar laut.

Adalah sebuah konsepsi yang sangat visioner bagi eksistensi manusia sebagai individu maupun bermasyarakat untuk mengajari generasi kita berkuda, memanah dan berenang. Kewajiban kita adalah meletakan dasar pengetahuan kepada generasi kita untuk bekal menghadapi kehidupan yang akan datang, yang bukan lagi milik kita. Yang kita tidak mampu lagi menduga akan seperti apakah yang akan dihadapi anak-anak kita di masa mendatang.

Visi dan Misi Kebersatuan dan Kebangsaan Kita

Pada tahun-tahun pra kemerdekaan selama kurun waktu 1928 -1940, pada masa-masa itu banyak sekali bertebaran tulisan-tulisan yang dibuat oleh para tokoh pergerakan yang kebanyakan kaum muda. Sebagian besar tulisan mereka berisi gagasan-gagasan mengenai sebuah idealisme kebangsaan serta permasalahannya di tengah-tengah kancah dunia yang amat sulit. Dimana waktu itu bangsa ini masih berada dalam kungkungan penjajahan yang memang menjadi cirri politik dunia pada waktu itu.

Kalau kini kita merasakan bahwa kita adalah satu kesatuan bangsa dari sabang sampai merauke maka pada masa itu semua masih dalam taraf wacana. Ada pertanyaan menarik yang paling mendasar pada waktu itu untuk sebuah proses pembentukan sebuah bangsa. Adalah “Apakah perlu sebuah kesatuan untuk masyarakat hindia (masyarakat Indonesia waktu itu), ditengah perbedaan geografis, adat, budaya dan agama sebagai kenyataan di masyarakat?”, “Apakah kesatuan itu memang dikehendali?”.

Pernah dijawab atau tidak pertanyaan itu pada kenyataannya hari ini Negara Indonesia meliputi semua wilayah bekas jajahan Belanda yang terbentang dari Barat Aceh sampai Timur Merauke. Atau mungkin kebersatuan Indonesia ditengah kebhinekaan itu terjadi begitu saja tanpa sebuah konsep dasar atau bahkan kontrak bersama? Saya tidak tahu jawabannya atau lebih tepatnya saya juga tidak tahu siapa yang harus menjawabnya.

Hamper satu abad lalu, rakyat bangsa Indonesia yang centang perenang di bawah penjajahan asing mencoba menggagas sebuah ide untuk masa depan. Keberagaman nusantara menjadi sebuah pertimbangan akankah mungkin kebersatuan itu terwujud, seberapa penting makna kebersatuan tersebut, seberapa keuntungan dapat diambil?

Kini setelah setengah abad lebih kita dipersatukan dalam satu kerangka Negara, tiba-tiba kita seperti berjalan di tengah-tengah jalan tanpa ujung pangkal. Kita lupa bahwa sejarah kebersatuan kita adalah sebuah proses panjang yang memakan banyak pengorbanan, bahwa kebersatuan kita dirangkai dengan harapan-harapan masa depan. Sebuah kontrak sosial yang basi karena kesejarahan kita seringkali terputus, kita berlari dengan kebimbangan karena kehilangan tongkat estafet. Kita tidak sedang meneruskan pelari sebelum kita pun tak hendak memberikan tongkat estafet ke pelari selanjutnya. Kini kita berhasil merasa menjadi satu bangsa, mengatasi segala perbedaan, tapi kita tak berhasil menggagas idealisme bangsa. Kita gagal menggagas visi dan misi kebangsaan kita.

Setelah setangah abad berlalu kembali pertanyaan masa lampau, yang terbenam dalam sejarah lahir kembali, tapi mungkin dalam ujud yang lebih evaluatif seperti: apa yang telah kita dapatkan dari setengah abad perjalan persatuan ini? Ya, hari ini kita tak lagi terkotaki perbedaan adat dan budaya maupun agama, tapi tenggelam dalam kenyataan yang ironis; karena kita memang tak lagi mempunyai akar adapt-istadat, budaya dan agama. Kita sekedar mengalir mengikuti arus zaman yang sedang membuat sebuah “budaya global” dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Rasa-rasanya telah tiba saatnya bagi kita kembali untuk bertindak, saya katakan demikian karena paling tidak ada dua alternative yang dapat kita pakai untuk melanjutkan perjalanan kebangsaan kita. Yang pertama bahwa kita kembali menggali kesejarahan kebersatuan kita, mengingat kembali kontral sosial masa lalu kita, menepatinya dengan segala visi dan misi yang tercakup di dalamnya. Atau yang kedua kita membuat sebuah keputusan untuk memulai menggagas sebuah paradigma baru untuk memandang kebersatuan kita, dan mulai mengonsep sebuah visi dan misi mendatang.

Kalau boleh memilih saya pilih yang kedua, karena setiap masa mempunyai kencenderungannya sendiri. Tetapi mengingat kadangkala kita sudah terlanjur mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, yang telah menjadi keberagaman baru menggantikan keberagaman, adat, budaya dan agama yang dahulu menjadi kendala kecil kebersatuan, dan kini telah usang, rasa-rasanya akan kesulitan kita membuat sebuah konsepsi bersama. Tapi keberagaman kepentingan biasanya lebih mudah diselesaikan melalui kontrak politik, karena parameter keuntungan dan hasil yang didapatkan lebih mudah diukur.

Kembali kepada visi dan misi kita kedepan, tak pelak itu tetap menjadi sebuah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dan eksistensi bangsa kita di masa mendatang tetap membutuhkan visi dan misi tersebut sebagai penerang. Atau kita akan seperti bahasa Aa Gym, yaitu; gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan!


Dimensi Immaterial Manusia

Ketika dalam sebuah bis yang penuh sesak seorang wanita muda mempersilahkan seorang wanita hamil untuk menduduki tempat duduknya, ketika seorang penjual bensin eceran menggratiskan satu liter bensinnya untuk seseorang yang kehabisan bensin dan sekaligus uang, ketika seorang pria tua tertatih menyebrangkan anak-anak sekolah untuk melintasi jalan raya yang ramai, maka dunia seperti diliputi oleh cinta. Bahwa ada perbedaan antara hanya sekedar manusia dan manusia yang berkemanusiaan.

Namun kadangkala ditengah kehidupan begitu kompleks, saat setiap individu sibuk dengan sebuah pertanyaan kepada dirinya “apa yang dapat ia rengkuh dalam hidup ini sebanyak-banyaknya!”. Dan menganggap setiap detik adalah ancaman yang bisa menghilangkan kesempatannya untuk mendapatkan kenkmatan hidup. Dan setiap mili nilai kebendaan adalah sesuatu yang harus dipertahankan dan harus dimiliki, setiap manusia adalah pesaing yang dapat mengancam eksistensinya, maka hidup menjadi seperti sebuah permainan saja. Dan memang nilainya menjadi seharga permainan, segalanya hanya diukur dari sudut pandang menang dan kalah, sehingga Allah pun mengatakan bahwa “Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau”.

Sesungguhnya nilai kehidupan tidak bisa hanya diukur dari peristiwa-peristiwa yang kasat mata. Meski hukum manusia justru hanya berlaku hanya pada bagian-bagian yang kassat mata. Namun manusia memiliki nilai yang disebut dengan kesadaran yang terletak mengatasi peristiwa-peristiwa. Melampaui dan mengatasi hukum sebab akibat. Namun lebih dari itu adalah memaknai dan menjadikannya sebuah pelajaran, sebuah sumber daya yang bisa diambil dari peristiwa-peristiwa dan bukan sekedar sekedar dari dimensi kebendaan, ruang dan waktu dari peristiwa-peristwa itu.

Dimensi nilai, sebuah dimensi imateriil, yang tak terindera. Namun ia cukup berpengaruh pada langkah perjalanan hidup manusia pada masa-masa setelahnya. Sesungguhnya peristiwa itu sendiri menjadi tidak bermakna jika diperlihatkan dari dimensi fisik saja. Seperti juga Allah berfirman, “….yang demikian itu hanyalah fenomena yang menipu.”

Kehidupan: kerelaan atau keterpaksaan?

Nyawa adalah unsure kehidupan yang paling hakiki, meski ia sesungguhnya teramat abstrak. Ada atau tidak, nyawa adalah sebagai sebuah penanda bagi mahluk hidup. Dan kehidupan sendiri adalah sesuatu yang misterius bagi seluruh makhluk hidup, karena eksistensi kehidupan kepengaturannya sungguh tak terjangkau makhluk hidup itu sendiri. Karema nalar, kehendak, dan kesadaran ada setelah kehidupan ada terlebih dahulu maka sesungguhnya kehidupan jelas diluar jangkauan yang hidup. Kehendak, keinginan dan kesadaran tidak bisa pada harapan akan datangnya kehidupan dan ketidakhidupan. Meski kehidupan dan ketidak-hidupan dapat direncanakan sebab-sebabnya tetap saja ia bukan sesuatu yang dapat memastikan datangnya kehidupan atau hilangnya kehidupan itu sendiri. Atau pada intinya ada supremasi yang takterjangkau kehidupan yang mengatur kehidupan itu sendiri.

Dalam piagam hak asazi manusia dikatakan bahwa kehidupan adalah asazi setiap orang. Meski sebenarnya kurang tepat, karena pada kenyataannya tidak ada satu kehidupan pun yang mampu mengurangi atau menambah atau menghalangi atau mengharuskan suatu kehidupan. Yang paling tepat seharusnya bahwa setiap manusia yang hidup berhak mempertahankan syarat-syarat kehidupannya, dengan tidak dihalangi pemenuhannya atau dilakukan kepadanya sesuatu yang dapat menimbulkan hilangnya kehidupannya.

“Nyawa” adalah sebuah kata benda abstrak untuk mencoba mematerialisasi, membendakan kehidupan sehingga menjadi sesuatu yang berujud. Dalam Islam dikenal dengan istilah ruh, bagaimanapun ruh juga termasuk sesuatu yang abstrak, tak terindra atau gaib. Untuk hal-hal yang abstrak atau gaib ini manusia dilarang untuk sok tahu, karena logika manusia manusia memang di persiapkan hanya untuk hal-hal yang inderawi. Sehingga ruh, yang gaib ini di katakana oleh Allah bahwa, “ruh adalaha urusan Tuhan.” Sehingga kehidupan sesungguhnya adalah urusan Tuhan. Meski keberlangsungan kehidupan, atau paling kehidupan dalam taraf yang lebih luas, dalam mempertahankannya, membuatnya lebih bermakna-itu sudah pada tingkat inderawi. Kesadaran manusia sudah dapat menjangkaunya, sehingga ia menjadi tanggung jawab makhluk-makhluk yang hidup itu sendiri.

“Aku ada, karena aku berfikir!” kata Rene Discartes. Berfikir adalah proses kesadaran manusia. Ketika ia mampu manganalisa diri dan lingkungannya maka manusia mulai untuk berfikir. Menyadari eksistensi dirinya, menganalisa kebutuhan dirinya untuk bisa survive dalam lingkungannya. Inilah kehidupan dalam konteks yang paling minimalis, sebelum kemudian ada kesadaran-kesadaran yang lain seperti kesadaran kolektif, dan kesadaran sosial. Dan itu adalah perkembangan lebih lanjut dari proses berfikir. Dalam makna yang paling harfiah maka apa yang dikatakan Discartes adalah sepenuhnya benar. Untuk tetap ada, eksis dan survive, manusia harus berfikir dan menemukan cara untuk mempertahankannya. Manusia yang tak mampu berifikir untuk mempertahankan eksistensinya akan terlempar dari kehidupan. Tereliminasi oleh seleksi alam yang amat kompetitif.

Kita semua hidup, begitu saja, tanpa sebuah proses tawar menawar. Dan ketika kita menyadari kehidupan kita pun tidak ada alternative yang ditawarkan kecuali bahwa kita harus bertahan. Tidak ada pilihan untuk mencoba tidak hidup misalnya, karena hidup terlalu berat, tidak bisa. Pun andai kata kita begitu bahagia dalam hidup maka tetap tidak ada tawaran untuk berapa lama kita hidup, setahun atau seratus tahun? Tidak ada tawaran. Tapi percayalah sumber daya yang tersedia pada diri kita cukup untuk mempertahankan kheidupan kita pada lingkungan yang kita diami sekarang. Dan seberapapun waktu yang diberikan cukup untuk melakukan yang terbaik dalam hidup kita, hanya kadang kita terlena, atau sering malahan. Semoga tidak!


Nalar Ilahiyah

Beranilah untuk mengetahui!” begitulah kata Immanuel Kant ketika ia mencoba mengawali abad pencerahan di Eropa. Ketika pada masa itu segala pengetahuan harus berdasarkan pakem gereja, logis atau mustahil-yakin atau ragu. Otak masyarakat Eropa harus dikerangkeng dalam kotak berlapis yang bernama otoritas gereja dan pemerintah.

Abad pencerahan Eropa ditandai dengan pembangkangan kaum cendekia terhadap segala macam dogma agama yang terlalu mengada-ada, dan kadang menjungkirbalikan konsepsi ilmiah apapun. Dan ia harus tetap diteguhkan sebagai satu-satunya kebenaran.

Ketika pada abad ke lima Masehi, kemudian muncul Muhammad sebagai seorang pembawa ajaran ketuhanan-dimana di Eropa dianggap sebagai belenggu pemikiran. Tapi apa yang dibawanya sesungguhnya ada sebuah konsepsi yang mirip dengan apa yang dikatakan oleh Immanuel Kant, “Beranilah untuk tahu!”. Maka dalam kitab suci yang dibawa Muhammad tertulis, “I’lam!”, Ketahuilah!”. Bahkan lebih dari sekedar sebuah anjuran untuk “berani tahu” tetapi sebagai sebuah kewajiban untuk “harus tahu” dengan “mencari tahu”. Dan lebih dari sekedar “berani tahu”-nya Immanuel Kant, tetapi Iqra’ yang bermakna “buatlah analisis”.

Sebuah revolusi pemaknaan terhadap kehidupan, bahwa ada proses pembacaan, analis, pemahaman dan pengilmuan. Dan yang lebih menarik adalah bahwa akhir dari sebuah pengilmuan adalah pertemuan logika dengan ketuhanan, keilahian. Dalam alqur’an tertulis “fa’lam annahu laa ilaha ilallaah” yang berarti ilmukanlah sampai kepada pemahaman bahwa tiada Tuhan selain Allah.

Maka jika abad kegelapan Eropa diakibatkan oleh terbelenggunya ilmu oleh penjara agama dan kekuasaan yang bersekutu, sehingga melahirkan sebuah pemberontakan pemikiran yang ingin memisahkan Tuhan sejauh-jauhnya agar tidak lagi membelenggu. Di dunia Islam dituliskan secara eksplisit bahwa pengilmuan haruslahlah menjadi jalan pertemuan manusia dengan Tuhannya. Atau bahkan ilmu adalah satu-satunya jalan menuju Tuhan.

Namun dalam bernalar bagi seorang muslim tetap harus berhati-hati, karena manusia mempunyai kencenderungan untuk tertipu dengan nalarnya. Kaum atheis mencoba mengutak-atik nalar mereka untuk menafikan sebuah proses penciptaan menjadi kumpulan kejadian-kejadian yang tak beraturan menjadi sebuah bentuk yang sempurna. Manusia adalah hasil dari kecelakaan genetic hewan-hewan rendah yang secara kebetulan menjadi lebih sempurna. Karenanya bukan karena Tuhan yang mengatur. Itulah sebuah logika. Percaya atau tidak?

Dalam al-Qur’an dikatakan wamaa yantiqu ‘anil hawa, dan tidaklah Muhammad berlogika dengan hawa nafsu. Begitulah penjelasan al-Quran terhadap nalar Muhammad agar sampai kepada Tuhannya. Jangan bernalar dengan sebuah tendensi asal benar, asal menguntungkan, asal bisa mengalahkan lawan. Dan ini dilupakan oleh sebagian cendekiawan sehingga ilmu justru tak menjadi jalan menuju logika Ketuhanan.

Logika ketuhanan tidak membelenggu kaum cendekia untuk berkarya, ada sekian formula dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh logika ini, mulai dari angka nol, angka arab, aljabar, anatomi ibnu sina, decimal sampai filsafat Ibnu Rusdi diciptakan oleh logika ini. Dan semuanya tidak membuat para cendekia dan filsuf-filsuf muslim lari dari Tuhannya.

In Huwa ila wahyu yuha, dan dia tidak bernalar kecuali dengan nalar ilahiyah.


Antara Jembatan dan Labirin

Kadangkala jika kita berjalan dengan tanpa menengok kemana pun, kita seperti berjalan pada sebuah jembatan kecil yang teramat panjang. Bahkan mungkin tujuan yang hendak kita capai terlalu jauh dibanding yang waktu disediakan untuk kita melintasinya. Namun dengan menikmati perjalanan itu barangkali kita akan merasa lebih baik, mencoba untuk sesekali tidak mempedulikan tujuan-tujuan kita, karena toh kita sudah berjalan pada sebuah jembatan yang pasti, jembatan kehidupan. Jembatan yang akan mengantarkan kita pada sebuah titik kejayaan yang hendak kita capai. Tetapi diujung jembatan justru segala titik kejayaan itu akan diakhiri. Lalu dimana kita harus meletakan tujuan dalam meniti jembatan kehidupan ini?

Kadang kita lupa bahwa ternyata segala tujuan yang hendak kita capai justru hanya terletak di tengah jembatan ini, sehingga kita terlena dan justru mengharapkan agar jembatan hidup kita tidak terlalu pendek, karena letak tujuan kita ada di tengah-tengah jembatan. Dan ketika tiba-tiba perjananan yang kita tempuh berakhir begitu saja, seperti jembatan yang patah dan ambrol. Dan saat itulah kita telah terlambat menyadari bahwa, jembatan itu sebuah jalan yang membawa kita pada sebuah pulau misteri yang hanya bisa dilihat dengan mata batin, dengan keyakinan. Dan sama sekali bukan dengan spekulasi, atau dengan sebuah pelarian bahwa jembatan yang kita titi tidak pernah akan berakhir, dan tidak akan berujung dimanapun. Tapi kesadaran dan nalar kita akan tetap membisikan kemata hati kita bahwa jembatan ini akan berujung.

Mempertajam mata hati untuk bisa melihat dengan jelas dan mencoba berpijak pada nalar dan nurani satu-satunya jalan mengakhiri perjalanan kita dengan selamat. Menghadapi sebuah pulau misteri yang bahkan tak pernah terkhayalkan ujudnya. Perjalanan kehidupan adalah sebuah labirin yang berlapis-lapis. Setiap kanalnya diliputi kegelapan yang siap menyesatkan siapa yang lengah dan salah memilih jalan. Tapi di dinding tiap kanal-kanal itu terlukis fatamorgana yang melenakan. Ada aroma ekstasi yang bisa membuyarkan nalar kita terhadap sebuah tujuan akhir di ujung jembatan ini. Kita terjebak pada satu ujung kanal yang buntu, sementara waktu untuk kita melintas semakin berkurang. Dan dalam keadaan ekstase yang begitu indah dan lena tiba-tiba peluit tanda berakhirnya waktu kita melintas ditiup. Dalam kegagapan kita sama sekali terlambat menyadari, bahwa halusinasi dalam puncak ekstase yang nikmat direnggut oleh sebuah kenyataan. Bahwa kita harus dilemparkan ke dalam sebuah pulau misteri yang gulita.

Mungkin apa yang tertulis disini terlalu absurd dicerna, tapi paling tidak bisa dirasakan dan dihayati. Karena memang segala kenyataan di dunia kadangkala penuh dengan ketidakpastian. Sekedar memperkaya kepekaan nurani. Semoga kita tidak tersesat dalam kanal-kanal dalam labirin yang tak terperi.


2/13/2008

inspirasi kata mutiara

Dunia adalah komedi bagi mereka yang melakukannya, atau tragedi bagi mereka yang merasakannya. - Horace Walpole

Ketahuilah, apapun yang menjadikanmu tergetar, itulah Yang Terbaik untukmu ! Dan karena itulah, Qalbu seorang pecinta-Nya lebih besar daripada Singgasana-Nya. - Jalaludin Rumi

Sesungguhnya seseorang bisa disebut mandiri bukan lantaran ia sudah tidak lagi meminta, tapi lebih karena ia sudah bisa memberi harapan akan kembali diberi. - Anonim

Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui. - Anonim

Tak ada orang yang terlalu miskin sehingga tidak bisa memberikan pujian. - Anonim

Kesehatan selalu tampak lebih berharga setelah kita kehilangannya. - Jonathan Swift

Kita tidak bisa menjadi bijaksana dengan kebijaksanaan orang lain, tapi kita bisa berpengetahuan dengan pengetahuan orang lain. - Michel De Montaigne

Seorang konsultan psikologi paling jenius sekalipun tidak lebih mengerti tentang pikiran dan keinginan kita lebih daripada diri kita sendiri. - Anonim

Salah satu fungsi diplomasi adalah untuk menutupi kenyataan dalam bentuk moralitas. - Will Dan Ariel Dunant

Do all the goods you can, All the best you can, In all times you can, In all places you can, For all the creatures you can. - Anonim

Yang terpenting dari kehidupan bukanlah kemenangan namun bagaimana bertanding dengan baik. - Baron Pierre De Coubertin

Yang terpenting dalam Olimpiade bukanlah kemenangan, tetapi keikutsertaan ... - Baron Pierre De Coubertin

Hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda di lima tahun mendatang, kecuali dua hal : orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca. - Charles "tremendeous" Jones

Jika pekerjaan Anda lenyap, jati diri Anda tidak akan pernah hilang. - Gordon Van Sauter

Jangan biarkan jati diri menyatu dengan pekerjaan Anda. - Gordon Van Sauter

Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka; namun terkadang kita melihat dan menyesali pintu tertutup tersebut terlalu lama hingga kita tidak melihat pintu lain yang telah terbuka. - Alexander Graham Bell

Jenius adalah 1 % inspirasi dan 99 % keringat. Tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras. Keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan. - Thomas A. Edison

Sumber kekuatan baru bukanlah uang yang berada dalam genggaman tangan beberapa orang, namun informasi di tangan orang banyak. - John Naisbitt

Uang merupakan hamba yang sangat baik, tetapi tuan yang sangat buruk. - P.t. Barnum

Ingatlah, semua ini diawali dengan seekor tikus, Tanpa inspirasi.... kita akan binasa. - Walt Disney

Tiba Di Kampoeng Cinta

14 Februari 2008
Untuk kali pertam Blog ini meluncur di dunia maya, menjadi bagian dari dunia tersebut dan mencoba mewarnainya dengan dengan segala pernak perniknya.

Kepemimpinan dalam Islam

Kepemimpinan Kepemimpinan dalam berfungsi untuk mengkoordinasikan, memimpin dan mengatur setiap pelaksanaan syariat. Ada beberapa istilah k...