11/04/2012

Amalan hati – tawakal



Tawakal merupakan amalan hati:

Menurut Imam Ahmad bin Hambal: Tawakal merupakan aktivis hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi/ Tahdzib Madarijis Salikin, tt : 337)

Tawakal merupakan ibadah uluhiyah:

Ibnu Qoyim al-Jauzi berkata: “Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya…, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ (baca ; faktor-faktor yang mengarakhkannya pada sesuatu yang dicarinya) serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi/ Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975 : 254)

Definisi tawakal:

secara harfiyah tawakal berarti mengandalkan, menyerahkan, mewakilkan sesuatu urusan kepada pihak lain karena mengakui ketidakmampuan diri.

Definisi syara’:

mempercayakan sepenuhnya kepada Allah dengan keyakinan bahwa Allahlah yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya, disertai dengan upaya menjalankan semua penyebab yang diperintahkan Allah. (menurut Ibnu Utsaimin).

Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tawakal adalah menyandarkan permasalahan kepada Allah dlm mengupayakan yang dicari & menolak apa-apa yang tak disenangi, disertai percaya penuh kepada Allah Ta’ala & menempuh sebab (sebab adalah upaya & aktifitas yang dilakukan utk meraih tujuan) yang diizinkan syari’at.

Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.”

Menurut Syeikh Utsaimin syarat tawakal ada 2: Pertama, penyandaran diri kepada Alloh dengan sebenar-benarnya dan nyata. Kedua, harus menempuh sebab yang diizinkan syariat.” (al Qaulul Mufid ala Kitabit Tauhid, Ibnu Utsaimin, 2/87-88)

Kesimpulan tawakal menurut dien:

1.     Allahlah yang mendatangkan manfaat dan menghidarkan bahaya bagi mahluknya

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal”.(QS. Ali Imran: 60)

Bertawakal atau bergantung itu hendaknya hanya kepada Allah, karena Allahlah yang bisa memberikan pertolongan dan kemanfaatan kepada manusia, ketika Allah memberikan pertolongan maka tidak ada satu makhlukpun yang mampu menimpakan bahaya atasnya. Dan tidak ada yang dapat melakukannya selain Allah.

Contoh tawakal yang sempurna adalah kisah tentang Nabi Ibrahim AS yang menentang penyembahan berhala kaumnya, kemudian beliau ditangkap dan dihukum akan di bakar si sebuah api unggun yang besar.

Nabi Ibrahim ditangkap dan diikat, sementara mereka bersegera mencari kayu api untuk membakarnya. Tak lama kemudian, kayu bakar pun terkumpul bagaikan bukit. Mereka mulai menyalakan api, dan berkobarlah api yang sangat besar, mengerikan. Dalam keadaan terikat, Nabi Ibrahim AS diletakkan pada salah satu manjanik (pelontar peluru/batu), lalu dilemparkan ke dalam kobaran api tersebut. Diceritakan, bahwa yang melontarkannya adalah ayahnya sendiri, Azar. Wallahu a’lam bish-shawab.

Mereka berkata: "Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim; lalu lemparkanlah Dia ke dalam api yang menyala-nyala itu". (QS. 37/97)

Pada waktu dilemparkan itu, beliau mengucapkan:

“Hasbunallah wa ni’mal wakil.”

“Cukuplah Allah bagiku, dan Dia sebaik-baik Pelindung.” (HR. al-Bukhari no. 4563 dari Ibnu ‘Abbas).

Ketika beliau sedang melayang di udara itu, tiba-tiba Jibril datang menawarkan bantuannya, “Apakah engkau membutuhkan sesuatu?”

Nabi Ibrahim AS berkata, “Adapun kepadamu, tidak. Akan tetapi, kalau kepada Allah, tentu.” (Tafsir Ibnu Katsir, Surat al-Anbiya)

Menjawab kepasrahan Ibrahim ini Allah berfirman:

Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim", mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, Maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. (QS. 21: 69-70)

2.     Harus dengan ikhtiar yang sesuai dengan syariat Allah.

Tawakal harus diteguhkan dengan dilakukannya sebab musabab: itsbatu fil asbabi wal musabaabi. Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana denan kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.

Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya.

Dari Umar bin Khattab ra berkata, bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sekiranya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah SWT dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rizki (oleh Allah SWT), sebagaimana seekor burung diberi rizki; dimana ia pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah).

Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda: ” Ikatlah untamu dan bertawakallah ” ( R. Ibnu Hibban ).

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala (yang artinya):

“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).

Al Qurtubi dalam Al Jami’ Liahkamil Qur’an mengatakan, “Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Seandainya semua manusia mengambil nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.” Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa dan bertawakal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama mereka. (Jami’ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49).

Bertaqwa adalah sebuah sikap untuk menjaga diri agar senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Dalam mengambil sikap taqwa ia kemudian bertawakal kepada Allah terhadap segala resiko yang akan dihadapi dalam ketaqwaannya itu. Dan Allah memberikan jaminannya kepada hambanya yang bertakwa itu untuk memberikan jalan keluar.

Misalnya seseorang yang mengalami kesulitan ekonomi tapi dia mengambil sikap takwa, yaitu tetap tidak mengambil rezeki yang haram meski ada kesempatan dan ia sangat membutuhkan. Ia bertawakal kepada Allah, menyerahkan semuanya kepada Allah sambik terus berikhtiar mengusahakan rezeki yang halal meski sulit. Maka, jika ia istiqomah Allah berjanji akan memberikan jalan keluar terhadap permasalahannya itu (yaj’alahu makhroja). Bahkan memberikan rezeki dari arah yang tidak dia sangka-sangka (yarzuqhu min haistu la yastahsib). Dan dengan tawakal Allah akan mencukupi kebutuhannya (wa ma yatawakal ‘alallah wa huwa hasbuh).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal. (QS. Al Maidah: 11)

Ketika Rasulullah SAW dan Abu Bakar hendak berhijrah ke Yastrib, mereka dikejar bala tentara kafir Quraisy kea rah selatan Mekkah. Ketika hamper terkejar Rasulullah dan Abu Bakar RA memasuki gua Tsur.

Abu Bakar berkata, “Aku bersama Rasulullah di dalam gua itu. Aku melihat telapak kaki orang-orang musyrik. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seandainya salah seorang dari mereka mengangkat kakinya, niscaya mereka akan melihat kita.” Namun, Rasulullah menghibur Abu Bakar dan bersabda, ‘Apakah persangkaanmu terhadap dua orang sedang yang ketiganya adalah Allah?”

Tentang hal ini Allah menyebutkan dalam firman-Nya, “Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya. (Yaitu) ketika orang-orang kafir (Makkah) mengeluarkannya dari Makkah, sedangkan dia adalah salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua. Di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada Muhammad dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya.” (QS. At-Taubah: 40).

IKHLAS



IKHLAS

IKHLAS
Ikhlash artinya suci bersih, murni, jernih dari pencemaran. Ibnul Qoyyim Al Jauzy mengatakan bahwa ikhlash adalah mengesakan Allah yang haq dalam berniat melakukan ketaatan, bertujuan hanya kepada-Nya tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Pengertian ikhlas menurut syara yang diungkapkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah adalah:”Mengesakan Allah yang hak dalam berniat melakukan ketaatan, bertujuan kepadaNya tanpa mempersekutukanNya dengan sesuatu apa pun”

Kalau membicarakan niat berarti membicarakan tauhid. Yaitu amalan untuk mengesakan Allah dengan tidak mencampuradukan dengan yang lain di dalam berniat melaksanakan ketaatan. Ikhlas itu berada didepan, niat sebagaimana hadits NAbi innamal a’malu bin nyat, lillahi ta’ala semata-mata karena Allah.

Ulama – ulama salaf juga memberi pengertian tentang Ikhlas yaitu

1.         Melakukan amal karena Allah semata, tiada bagian selain Allah didalamnya

2.         Mengesakan Allah yang hak dalam berniat melakukan ketaatan

3.         Membersihkan amal dari perhatian makhluk

4.         Membersihkan amal dari setiap pencemaran yang dapat mengeruhkan kemurniannya

Allah SWT berfirman:

5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (98/5).

Dalam ayat tersebut ada 2 aspek ikhlas:

1.      Liya’budullaha, bermakna ketauhiidan, habluminnallah.

2.      Mukhlisina lahud din, memurnikan dien Islam, habluminannas.

Beribadah itu harus memurnikan Dien yang mencakup: Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah dan ketiga-tiganya tidak boleh dipisah-pisahkan karena memisahkannya menjadikan kesyirikan.

Lawan dari IKHLASH adalah SYIRIK.

Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah Termasuk orang-orang musyrik". (al An’am (6): 161).

Hanif: berpaling dari syirik secara yakin atas dasar ‘ilmu.

Allah berfirman:

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (DS. AL An’am: 162-163).

Ayat 162 menyatakan sebuah pengakuan bahwa ibadah hanya lillahi ta’ala, merupakan statemen keikhlasan, dilanjutkan dengan pernyataan tidak adanya kesyirikan secara tauhid “tidak ada sekutu bagiNya” di ayat 163.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas dan dilakukan demi mengharap wajah-Nya.” (HR. Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, sanadnya hasan, dihasankan oleh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’)

ORANG YANG PALING BAIK AGAMANYA ADALAH MUKHLISHIN

125. dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.









[1] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

Kepemimpinan dalam Islam

Kepemimpinan Kepemimpinan dalam berfungsi untuk mengkoordinasikan, memimpin dan mengatur setiap pelaksanaan syariat. Ada beberapa istilah ...