Wahabi,
yang fisikeli dinisbat pada kaum berjenggot dan bercadar tiba-tiba saja
menjadi isu yang harus digemakan, tidak tanggung-tanggung mereka
langsung meng-akuisi "nusantara" dan segera menisbat yang tidak
se'aliran dengan mereka sebagai bukan "nusantara". Kemudian istilah
wahabi dicipta "sebagai" furqon antara nusantara dan bukan nusantara
yang bermakna bukan nusantara berarti tidak nasionalis, tidak layak
mendiami nusantara.
Senyatanya,
jika menilik sejarah bangsa, wahhabi itu ada setua bangsa ini, meski
harus dibuat dafinisi wahhabi itu sendiri. Jika yang disebut wahhabi
adalah madzhab pemikiran Islam yang bersumber dari Ibnu Taymiyah dan
Syeikh Abdul Wahhab itu sendiri maka sejatinya wahhabi sudah sekian lama
menjadi bagian "nusantara" ini. Bahkan jika Islam "tradisional" yang
bermadzhab Asya'ariyah, Syafi'iyah dikembangkan oleh para wali yang
hampir semuanya pendatang dari timur tengah, maka faham wahhabiyah
justru dibawah oleh anak pribumi dari Timur tengah. Contohnya gerakan
Kaum Paderi di Sumatra Barat, Haji Miskin Pandai Sikat (Agam) Haji
Abdurrahman Piabang (Lubuk Limapuluh Koto), dan Haji Mohammad Haris
Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar) adalah pemuda-pemuda asli ranah
Minang. Mereka mulai membawakan purifikasi Islam sebagaimana dilakukan
Syeikh Abdul Wahhab pada tahun 1801. Dan sejarah mencatat merekalah yang
mempertahankan nusantara ini dari imperialisme Belanda dibawah Imam
Bonjol dengan peperangan selama kurang lebih 30th.
Bahkan
di Jawa, pemikiran wahhabi sudah masuk pada masa pemerintajan Paku
Buwono IV, sekitar tahun 1788M, bahkan Sunan Bagus, sebutan lain PB IV
tertarik dengan ajarah Wahhabi ini, meski kemudian Pemerintah Belanda
mendesak agar orang-orang Wahabi itu diserahkan kepadanya. Pemerintah
Belanda cukup tahu, apakah akibatnya bagi penjajahannya, jika faham
Wahabi ini dikenal oleh rakyat.
Di
masa pergerakan pun, para aktivis pergerakan Islam banyak didominasi
oleh mereka yang cenderung dengan pemikiran Ibnu Taymiyah dan Syeikh
Abdul Wahhab yang dianggap sebagai sumber utama ajaran Wahhabi, paling
tidak mereka mengikut pemikiran Muhammad Abduh atau ataupun Jamaluddin
AL Afghani dan Muh rasyid Ridho, secara akidah mereka berkiblat kepada
pemikiran Ibnu Taymiyah dan Syeikh ABdul Wahhab. Para aktivis ini
kemudian banyak bergabung dalam Partai Masyumi.
Pun
Soekarno pun pernah mengutarakan ketertarikannya terhadap "wahabi" ini.
Kepada A. Hassan, Soekarno bercerita keinginannya membaca buku "Utusan
Wahabi." Ia juga bercerita telah menerjemahkan buku biografi Ibnu Saud.
"Bukan main hebatnya ini biografi! Saya jarang menjumpai biografi yang
begitu menarik hati," ujar Bung Karno. Ia menuliskan dalam suratnya itu,
"Bagi saya buku ini bukan saja satu ikhtiar ekonomi, tetapi adalah pula
satu pengakuan, satu confenssion. Ia menggambarkan Ibnu Saud dan
Wahhabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan elemen amal, perbuatan begitu
rupa hingga banyak kaum ‘tafakur’ dan kaum pengeramat Husain cs (Syiah)
akan kehilangan akal nanti sama sekali,"
Muhammadiyah
dengan gerkan purifikasi dengan slogan anti TBC, bisa dikatakan membawa
spirit wahhabi, bahkan kalau kita menilik buku kuliah tauhidnya Yunahar
Ilyas maka disana ada pembagian aqidah menjadi tiga Rububiyah, Uluhiyah
dan Mulkiyah serta asma wa syifa, metode pengajaran tauhid khas
wahhabi.
Stigmatisasi Wahhabi dahulu dan sekarang
Di
Indonesia, stigma Wahabi pernah dilekatkan pada ormas-ormas Islam
seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam (PERSIS).
Tokoh-tokoh seperti KH Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Soorkati, A. Hassan,
dianggap sebagai pengusung paham Wahabi di Indonesia.
Pada
masa yang lalu stigmatisasi wahhabi adalah upaya melanggenggang
imperalisme. Hari ini stigmatiasi wahhabi tidak lebih dari upaya dari
orang-orang yang merasa "minder" dan kala saing agar bisa memenangkan
persaingan dengan lebih mudah, bahkan lebih dari itu ada motif duniawi,
seperti "proyek" dan kekuasaan.
Wahhabi
dalam konteks yang luas tidak bisa diidentifikasi oleh entitas
tertentu, ciri pakaian tertentu atau ormas tertentu. Pun sebutan wahhabi
atau yang lainnya sebenarnya sangat tidak begitu penting. Karena
sesungguhnya yang terpenting adalah kita bisa beragama dengan kesalehan
yang shohih, dan kejujuran dalam ucapan dan perbuatan. Ikhlas, menjauhi
motif-motif dunia, baik harta, kekuasaan ataupun sanjungan. Kita
menghargai perbedaan dalam beragama sepanjang bisa di
pertanggungjawabkan.