8/09/2025

Paradoks Aktivisme Islam: Antara Cita-Cita Keadilan dan Otoritarianisme Baru

 


Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, aktivisme Islam sering muncul sebagai suara yang lantang mengkritik ketidakadilan, korupsi, dan otoritarianisme penguasa. Mereka menuntut kebebasan bersuara, transparansi, dan pemerintahan yang berpihak pada rakyat. Namun, tak jarang, sebagian kelompok di antara mereka justru menawarkan sistem alternatif yang, jika ditelusuri, menyimpan potensi mengekang kritik dan memaksakan ketaatan mutlak—sebuah paradoks yang layak untuk direnungkan.

Islam: Agama yang Menawarkan Kebebasan Berpikir

Secara esensial, Islam datang membawa rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya: 107)

Rahmat ini mencakup keadilan sosial, kebebasan dari tirani, dan ruang bagi manusia untuk menunaikan hak-haknya. Nabi Muhammad ﷺ sendiri mempraktikkan keterbukaan terhadap kritik. Dalam peristiwa Perang Badar, beliau menerima usulan dari sahabat Hubab bin al-Mundhir untuk mengubah posisi pasukan, meskipun itu berbeda dari rencana awal beliau. Ini menunjukkan bahwa dalam sistem Islam yang sejati, kritik bukan ancaman, melainkan bagian dari proses mencari keputusan terbaik.

Bahaya Mengulang Siklus Otoritarianisme

Sejarah dunia Islam menunjukkan bahwa pemerintahan yang mengatasnamakan agama tidak selalu identik dengan pemerintahan yang adil. Dinasti Umayyah, misalnya, dalam periode tertentu dikenal sangat represif terhadap lawan politiknya, termasuk sesama Muslim yang berbeda pandangan. Ironisnya, legitimasi kekuasaan mereka kerap dibungkus dengan dalih ketaatan pada pemimpin (waliyul amri).

Di Indonesia modern, sebagian aktivis Islam memimpikan khilafah atau negara Islam sebagai jawaban atas kegagalan demokrasi. Namun, kritik terhadap gagasan ini datang dari para cendekiawan Muslim seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur), yang mengingatkan bahwa Islam lebih menekankan pada nilai-nilai etis pemerintahan—keadilan, amanah, musyawarah—daripada bentuk formal negara. Cak Nur pernah mengatakan, “Islam yes, partai Islam no”, sebagai penegasan bahwa simbol politik tidak selalu sejalan dengan substansi ajaran Islam.

Kritik dalam Islam: Bukan Dosa

Al-Qur’an menegaskan prinsip *amar ma’ruf nahi munkar* (QS. Ali Imran: 104, 110) yang esensinya adalah mengoreksi kesalahan, termasuk kesalahan pemimpin.

Umar bin Khattab RA, khalifah kedua, bahkan pernah berkata di hadapan publik:

"Jika aku menyimpang, maka luruskanlah aku, walau dengan pedang kalian."

Ucapan ini adalah pernyataan revolusioner bahwa pemimpin bukan sosok yang kebal kritik. Maka, jika suatu sistem Islam yang baru justru membungkam kritik, sistem itu sesungguhnya menyimpang dari semangat para khulafaur rasyidin.

Paradoks Aktivisme Islam

Paradoks ini terjadi ketika:

1. Saat menjadi oposisi: aktivis Islam menuntut kebebasan berbicara, transparansi, dan keadilan.

2. Saat merancang sistem sendiri: mereka cenderung membatasi perbedaan pendapat, memonopoli tafsir agama, dan menuntut ketaatan mutlak.

Dalam teori politik, ini disebut authoritarian relapse—kembali ke pola otoritarian setelah perubahan rezim, hanya dengan baju ideologi yang berbeda. Di titik inilah gerakan Islam berisiko mengulangi kesalahan penguasa yang mereka kritik.

Menuju Sistem Islam yang Membebaskan

Jika Islam hendak menjadi solusi, ia harus hadir dengan:

Keterbukaan musyawarah (QS. Asy-Syura: 38) yang melibatkan semua elemen masyarakat, Muslim maupun non-Muslim.
Pengakuan hak minoritas
sebagaimana Piagam Madinah yang dibuat Nabi ﷺ, yang mengakui hak Yahudi dan kaum lain dalam satu entitas politik.
Kontrol terhadap kekuasaan melalui lembaga yang bebas dari dominasi satu golongan.

Sejarah Piagam Madinah adalah contoh bahwa negara berbasis nilai Islam bukan berarti negara hanya untuk Muslim, melainkan negara yang berdiri di atas keadilan universal.

---

Penutup:


Paradoks aktivisme Islam ini adalah cermin bahwa pergantian sistem politik tidak menjamin terciptanya keadilan jika mentalitas penguasa tetap sama—menganggap dirinya di atas kritik. Islam yang sejati mengajarkan bahwa keadilan lebih penting daripada simbol, bahwa musyawarah lebih tinggi nilainya daripada ketaatan buta, dan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat untuk menguasai.

Sarjono
Pengurus DPW Partai Syarikat Islam Indonesia DIY

8/01/2025

Ketika Pendulum Kekuasaan Bergeser



Oleh: Sarjono Ranudimedja


Babak baru politik Indonesia tampaknya mulai menampilkan arah yang tak sepenuhnya terduga. Presiden Prabowo Subianto membuat langkah mengejutkan dengan memberikan "ampunan hukum" kepada dua tokoh politik yang sempat terseret kasus hukum: Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan, dan Thomas Lembong, ekonom yang dikenal sebagai pendukung Anies Baswedan dalam Pilpres terakhir. Keduanya dipercaya sebagai korban dari kriminalisasi politik di era Presiden Joko Widodo.


Lebih dari sekadar keputusan hukum, pemberian amnesti dan abolisi ini menyiratkan pesan politik yang kuat: Prabowo mulai menunjukkan sikap independen dan keberanian untuk memutus mata rantai pengaruh “Geng Solo”—istilah populer yang merujuk pada lingkar kekuasaan Jokowi.


Di tengah kejutan itu, publik juga dikejutkan oleh instruksi Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, kepada para kadernya untuk mendukung pemerintahan Prabowo. Padahal selama ini, PDIP dikenal sebagai oposisi keras terhadap Jokowi, dan Prabowo adalah kelanjutan rezim Jokowi. 

Pendulum Kekuasaan dan Teori Elite

Apa yang sedang terjadi ini bisa dianalisis menggunakan kerangka "teori sirkulasi elite" dari Vilfredo Pareto. Menurutnya, dalam setiap sistem kekuasaan, akan selalu terjadi perputaran elite—dimana elite lama akan tergantikan oleh elite baru melalui sirkulasi yang bersifat politis dan psikologis. Jika benar bahwa Prabowo mulai melepaskan diri dari pengaruh Jokowi, maka ini bisa dibaca sebagai pergeseran elite—dari era dominasi Geng Solo ke formasi kekuasaan baru yang lebih plural dan terdistribusi.


Sementara dari sudut pandang "teori patron-klien", hubungan antara Jokowi dan aktor-aktor politik sebelumnya banyak ditopang oleh jaringan loyalitas, balas jasa, dan kontrol sumber daya. Ketika Prabowo mulai mengabaikan agenda para patron lama—dan justru membuka ruang rekonsiliasi terhadap tokoh-tokoh yang dulu berseberangan—maka ia sebenarnya sedang memutus jalinan relasi patron-klien tersebut. Ini adalah fase transisional yang sangat menentukan arah politik Indonesia pasca Jokowi.


Prabowo: Dari Bayang-bayang Menuju Panggung Penuh


Langkah Prabowo bisa dibaca sebagai upaya untuk mengukuhkan otoritasnya sebagai presiden yang bukan hanya "melanjutkan" program, tetapi juga "merebut kendali penuh atas kekuasaan". Isyarat itu tampak jelas dalam dua hal: pertama, langkah simbolik dan substansial berupa pemberian amnesti kepada tokoh oposisi. Kedua, mampu membalikkan sikap politik PDIP yang selama ini menjadi lawan.

Jika ini terus berlanjut, maka Prabowo akan menjadi aktor sentral yang mampu melakukan "redefinisi kekuasaan" dalam konteks post-Jokowi. Kekuasaan tidak lagi dikooptasi oleh loyalis masa lalu, tetapi mulai ditata ulang dalam relasi yang lebih strategis dan, mungkin, lebih rasional secara politik.


Nasib Jokowi: Antara Senjakala dan Ketegangan Baru


Dalam politik, kehilangan jabatan adalah kehilangan instrumen formal kekuasaan. Bagi Jokowi, yang selama dua periode begitu dominan, hilangnya akses terhadap instrumen negara akan berdampak pada menurunnya daya tawar terhadap elite-elite baru.


Skenario terburuknya, Jokowi bisa berada dalam posisi yang "vulnerable", terutama jika agenda politik dan jejaring ekonominya mulai dikikis oleh aktor-aktor baru yang ingin mengambil alih pusat gravitasi kekuasaan. Politik Indonesia pasca-2024 bisa menjadi arena di mana "mantan patron" justru menjadi pihak yang diisolasi, seperti yang dulu dialami oleh elite-elite pasca reformasi yang kehilangan panggung dan pengaruh.

---

Apakah ini awal dari transisi kekuasaan yang lebih demokratis atau hanya pergeseran dalam lingkar oligarki yang sama? Terlalu dini untuk disimpulkan. Namun satu hal yang pasti: "pendulum kekuasaan sedang bergerak", dan arah pergerakannya akan menentukan wajah politik Indonesia lima tahun ke depan.

---

Catatan: Artikel ini adalah opini penulis dan tidak merepresentasikan posisi media tertentu.

Paradoks Aktivisme Islam: Antara Cita-Cita Keadilan dan Otoritarianisme Baru

  Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, aktivisme Islam sering muncul sebagai suara yang lantang mengkritik ketidakadilan, korupsi...