11/09/2008

Tatap Mataku Dua Menit Saja


Gadis mungil itu menatapku, matanya gemerlap seperti permata. Dunia dikemudikannya dalam keceriaan. Sesekali tawanya memecah, lalu kembali sepi kecuali desah dedaunan dihembus angin.
“Mas, kau tahu apa yang paling kuharapkan dalam hidup ini.” Tanyanya.

“Tentu saja tidak, karena harapanmu tentu atau mungkin beda dengan harapanku.” Jawabku.
“Ah Mas, tapi toh tak ada salahnya jika kau menebaknya bukan.” Kejarnya.
“Ah, aku tak suka main tebak-tebakan, katakan saja apa keinginanmu, aku akan dengarkan.” aku tak mampu menebak arah bicaranya.
“Ya sudah.” Ia memberengut kecewa. Sepintas ada juga yang terasa hilang dari padanya. Aku sendiri disergap rasa sesal atas jawabanku. Tapi hanya kata itu yang bisa aku katakan. Jangan kau katakan aku lelaki bodoh, aku tahu apa yang ada di benak tiap lelaki atas pertanyaan seorang gadis yang semacam itu. Tapi kau harus tahu juga bahwa keadaannya tidak seperti yang sedang kau bayangkan.
Aku adalah seorang lelaki kepala empat, dengan rambut kepala yang mulai memutih. Dan gadis itu adalah gadis yang benar-benar belia, dia mungkin tepat menjadi anakku. Tapi waktu yang misterius telah menjebak kami pada jalan yang tidak lucu ini.
Kami saling kenal ketika aku menempati sebuah apartemen yang berada di sebelah apartemen yang dia tempati. Ia tinggal sendiri di situ. Karena beranda apartemen kami hanya dibatasi tembok satu setengah meter kami membuat kami sering bertemu. Awalnya kami hanya saling lirik, saling mengamati, saling senyum, saling sapa, saling tanya asal, pekerjaan dan segala basa basi yang lain sebagai tetangga. Satu pertanyaan yang paling membuatku jengah adalah manakala dia menanyakan status, seberapapun biasa dan wajar pertanyaan itu, tetap saja membuatku terhakimi. Dalam usia kepala empat sekarang, aku memang tak kunjung mendapatkan pendamping hidup. Aku merasa sudah tidak berminat lagi membicarakannya dengan siapapun, bahkan mempertanyakan pada diri sendiri pun aku enggan. Biarlah hidup terus mengalir dan aku tak harus berfikir apapun kecuali membiarkan waktu menelan sisa-sisa umurku.
Namun aku tetap saja menyerah, bahwa aku harus tetap menjawab pertanyaan itu. Dan aku berjuang menghilangkan segala emosi dalam jawabanku, aku tak hendak berkilah tentang berbagai alasan-alasan kenapa aku masih saja melajang di usia kritis ini. Apalagi terkesan menyesali atau meratapinya, aku ingin segalanya datar-datar saja. Kamu harus tahu bahwa itu butuh perjuangan, dan aku sering terjebak, entah kepada siapa aku sedang berbohong, pada gadis belia ini atau pada diriku sendiri. Tapi biar sajalah.
Dari pembicaraan-pembicaraan dengannya aku tahu bahwa dia tinggal sendiri di apartemen mungilnya itu. Ia memilih hijrah kekota ini demi karirnya sebagai staf akuntan di sebuah perusahaan swasta yang cukup terkenal. Aku menyimpulkan bahwa dia adalah gadis yang cerdas, lincah dan mandiri disamping penampilan fisiknya yang menarik dan periang. Tapi kamu jangan pernah menyangka bahwa aku akan mencari simpati dari gadis itu.
Dan hidup terus saja mengalir, dari hari-kehari dari bulan-kebulan dan seterusnya. Hubungan kami biasa saja, semakin akrab memang. Saat menjelang senja kami biasa duduk-duduk di depan apartemen, berbincang apa saja, dari masalah pekerjaan, kehidupan sampai kehidupan pribadi kami masing-masing. Hanya saja aku terlanjur hidup dalam duniaku sendiri yang sulit berbagi, aku terlalu introvert untuk mengobral cerita hidupku. Aku lebih suka jadi pendengar yang kritis, dan ia menyukainya, bahkan ia tak ambil pusing dengan kerahasiaan tentang diriku.
Aku bahagia mendengar segala cerita-ceritanya, obsesi-obsesinya dalam hidup, aku seperti dikembalikan pada putaran-putaran waktu belasan tahun lalu, kembali pada dunia yang jernih dan ceria. Dunia yang masih sanggup menampung segala ingin dan harap, dunia yang lentur dan elastis. Aku bahagia mendengar segala ocehannya dan tak hendak memupusnya dengan cerita kehidupanku yang rapuh dan berkerak. Dan aku kembali terjebak dalam pertanyaan, apakah aku sedang menyenangkannya atau sedang menyenangkan diriku sendiri. Kamu harus percaya bahwa seberapapun buruk kualitas hidupku, kedewasaan usia dan pengalaman hidup mampu menampung segala cerita hidupnya. Dan aku tidak sedang merayunya dengan kegombalan seorang lelaki.
Kami pun semakin dekat, kami sering jalan bareng. Mulai sekedar mengantar ke kantornya yang searah dengan tempat kerjaku sampai makan malam di lesehan atau restoran. Aku hanya mengikuti aliran hidup dan tak hendak mengambil keuntungan apapun darinya. Kadangkala dia bercerita tentang manajernya yang menurut pengakuannya ideal sebagai lelaki, dan dia berharap mendapat suami sepertinya. Tentang teman kerjanya yang menurutnya mencoba mencari perhatian dirinya. Dan dia berkomentar:
“Uh, caranya merayu kampungan, dia merayuku seperti pembeli menawar barang di pasar loak.”
Sahabat permpuannya yang diputus pacarnya, untuk cerita yang ini dia berkata kepadaku:
“Kamu jangan cari istri seperti dia, dia itu materialistis.” Begitu katanya dan aku hanya tertawa dan mengangguk.
Tiba-tiba saja aku merasa hidupku dipenuhi dengan hidupnya, aku terseret dalam segala cerita dirinya, kehidupannya, perasaan-perasaannya obsesinya dan semuanya. Meski aku hanya mencoba menjadi cermin terhadap dirinya, aku hanya melayani sejauh apa yang dia lakukan. Melangkah manakala dia melangkah dan berhenti manakala dia berhenti, jarak yang terbatasi oleh bentangan cermin, dalam dunia yang terpisah. Aku tak hendak menerobos masuk dalam dunianya dan tidak juga membiarkannya masuk dalam duniaku. Namun dalam jarak itu aku tidak mampu lepas darinya sebagaimana dia tak bisa lepas dariku.
Tetapi tidak, aku tidak akan mengambil kesempatan apapun yang bisa kuambil dari kedekatan ini. Aku hanyalah orang tua yang mencoba membuat ruang bermain bagi seorang anak. Membuatnya nyaman dan terlindungi. Dan aku memantapkan diri sebagai penghiburnya, sahabat, kakak atau bahkan ayahnya.

“Kau belum menjawab pertanyaanku” kata gadis itu.
“Pertanyaan yang mana?” tanyaku bodoh.
“Kau tidak ingin mendengar harapanku saat ini?” tanyanya.
“Tidak, tapi jika kau mau bercerita aku akan dengarkan.” Kataku.
“Tidak.” Katanya
“Kenapa?” Tanyaku.
“Aku tidak bergairah lagi. Garing!” katanya.
Aku terdiam. Menelan ludah yang terasa pahit. Terasing dalam dunia yang keliru, yang tidak sepantasnya aku diam disitu. Duduk dalam gerbong kereta yang salah, sementara gerbong yang sebenarnya telah lewat.
Aku menyesal telah terbawa putaran arus yang membuatku terjebak didalamnya. Aku bisa saja bergegas dan berlari dari arus itu, tetapi akan ada yang berdarah dan sakit, hatiku dan hati seseorang. Sejenak aku tidak bisa berucap apapun. Kebisuan segera mendaulat, aku berfikir keras untuk menembus kebuntuan itu.
“Ha...ha.... orang tua semacamku memang kadang membosankan. Jadi jika kau merasa seperti itu wajar saja. Bahkan kalau kau terlalu sering bergaul denganku kau akan segera menjadi nenek-nenek!” kataku.
Ia hanya diam, aku merasakan ada gemuruh dalam dadanya. Dan segalanya menjadi serba salah. Leluconku sama sekali tidak efektif dan menambah ‘garing’ saja. Aku kehabisan akal untuk mengakhiri kebuntuan.
“Kau ingin tahu apa yang kuinginkan sekarang?” katanya kemudian.
“Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu.” Kataku.
Ia menyeringai, ia menantangku.
“Tentu, kalau kau berani.” Katanya lagi.
“Apa yang ditakutkan oleh seorang lelaki dewasa sepertiku?” tantangku.
“Aku memintamu menatap mataku dua menit saja.” Katanya datar.
Aku tiba-tiba terhuyung. Seakan jidatku diketuk dengan palu besi. Aku mencuri pandangan padanya. Ia telah berubah menjadi seorang ratu di singgasananya, dikepalanya mahkota kebesaran, ditangannya tongkat komando yang diarahkan lurus kekepalaku. Aku mencuri pandangan matanya, mengukur seberapa keberanianku meghadapi tantangannya. Tidak! Tidak! Aku tak mampu.
Menatap matanya dua menit. Dua menit. Hanya dua menit, tapi dua menit bagi pandangan mata cukup untuk menelanjangi hati, cukup untuk mencuri informasi dalam hitungan kecepatan cahaya kali dua menit. Tidak! Tidak! Tapi, apa yang kutakutkan. Otakku buntu, aku meliriknya. Gadis mungil itu berubah menjadi sedemikian dewasa, dan aku mengkerut, berubah menjadi seorang balita yang ketahuan mencuri permen dihadapan ibunya. Aku terjebak, aku terjebak.
“Kau tidak berani?” katanya.
“Kalaupun aku berani, untuk apa?”
“Sudahlah, aku menunggu jawabmu, atau kau jadi pengecut.” Ia tersenyum, bangkit dari tetap duduknya, menarik-narik ujung bajunya, mengusapnya seakan debu mengotorinya. Beringsut meninggalkanku sendiri.
“Aku pamit dulu, selamat malam.” Ucapnya.
Busyet. Aku dikerjain, aku dikerjain! Aku bengong sendiri, aku masih merasakan panasnya darah yang mengaliri wajahku, merasakan sesaknya dada dengan detak jantung yang tertahan. Gadis mungil itu tidak selugu yang aku bayangkan, ia mempecundangiku.
Menatapnya bola matanya dua menit, dua menit saja. Aku tidak sanggup, tidak, tapi.... mungkin benar aku pengecut. Ya, pengecut. Menatap matanya dua menit saja, dua menit saja!
Setelah peristiwa itu aku jarang melihatnya, atau lebih tepatnya aku menghindarinya. Aku takut menghadapinya, aku tak berani meliha sorot matanya yang menuntutku. Aku malu dengan ketuaanku yang kekanak-kanakan, aku seperti remaja belasan tahun yang ketahuan jatuh cinta. Jatuh cinta! Ha...ha....ha. aku tak percaya.
Tapi betulkah aku jatuh hati pada makhluk mungil itu. Bah! Tidak, aku lelaki dewasa kepala empat. Tahu betul terhadap apa yang harus aku lakukan, masalah cinta? Puih! Tak mungkin. Tapi menatap matanya dua menit, oh..tidak...tidak! itu kesalahan besar dalam hidupku jika aku melakukannya. Tapi kenapa? Apanya yang membuatku salah? Betulkan aku pengecut?
Hari-hariku adalah perjuangan untuk men-delete bayangannya dari memori otakku yang tua. Tapi ia adalah virus, tiap kali kuhapus, ia menggandakan dirinya beratus-ratus kali. Menghambat sistem kerja yang lain, memakan memorinya, emgambil alih program, lalu bekerja secara otomatis tanpa dapat kukendalikan. Aku hang dan error.
Pekerjaanku menumpuk dan kacau, masih ditambah dengan ketakutanku bersua dengannya, menghindari jam-jam tertentu yang aku bisa kepergok dengannya. Padahal dia tinggal hanya terbatasi selapis dinding denganku. Tidak ada cara lain selain aku pergi dini hari dan pulang tengah malam. Aku menghabiskan sisa waktu kerjaku dengan berjalan tanpa arah atau menyambangi restoran, kafe, atau sekedar menyendiri di taman kota.
Sampai suatu ketika, setelah bangun pagi aku ketiduran di kursi malas di depat apartemenku. Tempat aku sering berbagi cerita dengan si mungil itu. Setengah tertidur aku melihat sesosok bayangan mendekat. Tangannya terulur mendekati tubuhku, menjamah pundakku dan menggoyangnya perlahan. Aku terjaga, kalut langsung menyerbu, aku tak mampu melenyapkan diriku begitu saja dari depannya. Aku terjebak!
“Mas, ketiduran ya? Biasanya jam segini sudah pergi.” Sapanya seraya duduk di depanku.
Setelah betul-betul terjaga dan menguasai diri aku mencoba bersikap setenang mungkin.
“Ya begitulah, hari-hariku sibuk. Sedang banyak proyek. Terima kasih ya, membangunkanku. Aku segera berkemas.” Aku bergegas hendak bangkit meninggalkannya.
Tiba-tiba gadis itu menarik memegang tanganku, menariknya dan menahan diriku dari meninggalkannya. Aku terduduk, tiba-tiba aku merasa tersinggung, kesal. Aku menatapnya, ia menatapku. Aku menatap garang, mata itu sayu biru. Tatapan mata itu mengalirkan hawa beku, aku mencoba berkelit. Tapi sorot mata itu menyihirku beku. Tidak, tidak, ini sudah lebih dari tiga detik aku menatapnya. Aku harus berpaling. Tapi aku tidak mampu. Aku terus menatap matanya.
Dalam mata itu aku menemukan padang rumput yang begitu luas dan hijau, wangi bunga rerumputan dan dengung lebah madu. Gambar mata itu berjalan menampilkan sungai-sungai dengan air yang bening, riak-riak air yang bergairah. Embun dan kabut, langit biru dan cakrawala yang amat jauh melengkung membatas bumi. Aku seperti melayang pada awan-awan putih, segalala nampak biru dan segar. Melayang dan melayang sampai pada sawah-sawah berlumpur, air yang menggenang memantul biru langit. Petani-petani yang bergegas dengan bibit yang siap ditabur. Melayang lagi dan aku mendarat dibumi.
Hampir dua menit ia menyorongkan wajahnya tepat didepanku, tangannya menggapai pundaku. Aku merasa terjebak, tenggelam dan hanyut. Ketka mata itu semakin dekat sekuat tenaga aku berontak. Menepis dan mendorongnya dengan keras. Ia seperti melayang terjengkang beberapa meter didepanku, dengan sorot mata yang masih menyihirku. Aku berteriak dan hampir terjengkang.

8888888888

Nafasku memburu, perlahan kubuka mataku. Mengumpulkan sisa kesadaran. Samar kulihat sesosok bayangan didepatku. Setengah terkejut mendapati dua mata bening di depanku.
“Kakek mimpi ya.”
Mata bening itu membuatku takut. Aku segera berpaling.
“Ya...ya...betul. Kakek mimpi.” Mata bening itu masih menatapku dengan heran.
“Mimpi buruk ya Kek?” tanyanya.
“Ya, mimpi buruk.” Gadis mungil itu anak tetanggaku. Ia sering datang membawa makanan untukku. Mungkin kasihan melihat seorang kakek renta yang hidup menyendiri.
Aku menyesali diri, kenapa aku selalu takut dengan sorot mata wanita. Ah, andaikata aku bisa menatap mata wanita dua menit saja, mungkin aku tidak akan menjalani hidup dalam kesepian. Tapi, sorot mata kecil gadis ini saja, aku tidak mampu menatapnya. Sudahlah. Semua sudah lewat. Andai aku menatap mata wanita dua menit lamanya mungkin saja aku tidak lagi hidup sendiri, atau mungkin aku malah mati olehnya.
Bantul, penghujung tahun 2007.

No comments:

Kepemimpinan dalam Islam

Kepemimpinan Kepemimpinan dalam berfungsi untuk mengkoordinasikan, memimpin dan mengatur setiap pelaksanaan syariat. Ada beberapa istilah ...