1/27/2012

Roja



Makna roja’ adalah harapan yang baik atau optimis. Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.” (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: “Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu yang disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Bahwa ketika seseorang beribadah kepada Allah maka didalamnya harus ada rasa optimis bahwa Allah akan memberikan pertolongan, rahmat dan ridho-Nya.
Maka lawan makna dari optimis adalah putus asa.
Makna syara’:
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul, hal. 136).

Roja adalah perasaan tenang dalam diri seseorang menunggu sesuatu yang diharapkan dengan alasan yang syar’i. Perasaan opiimis akan memberikan pengharapan yng baik atau prasangka yang baik. Bagi orang yang beriman rasa takut (khauf) akan mendorong orang yang beriman untuk mendekat diri kepada Allah agar Allah ridha kepadanya, demikian juga roja’ akan seiring dengan khauf karena orang yang beriman berpengharapan Allah akan memberikan ridha-Nya, keduanya menjadi sikap yang sinergi mendekatkan seorang hamba kepada Allah ta’ala.
Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “Khouf dan roja’ saling beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga seorang hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan khawatir tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan rahmat-Nya…” (Taisirul Wushul, hal. 136. lihat juga Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 60)
Bagi orang beriman paling tidak ada dua opimisme yang menyertai ibadahnya yaitu:
-          Optimis akan datangnya rahmat Allah.
-          Optimis akan datangnya ampunan Allah.

TAKUT DAN HARAP BERIRINGAN DALAM IBADAH

   
dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. AL A’raf [7]: 56).
Allah memerintahkan ud’uhu, menyeru atau secara umum beribadah kepada Allah itu harus disertai khaufan wa thoma’an yaitu hadirnya rasa takut dan pengharapan. Pengabdian itu karena ketakutan akan timbulnya murka Allah terhadap dirinya dan pengharapan akan adanya cinta dan ridlo Allah ta’ala kepadanya. Dan itu akan hadir manakala seseorang senantiasa menghindari perilaku fasad (merusak) dan senantiasa beramal sholeh (perbaikan).

HILANGNYA ROJA’ (OPTIMISME) ADALAH KEKUFURAN
  
Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
Dalam ayat tersebut Allah dengan kalimat larangan berkata, wala tai’asu mir rauhillah, janganlah engkau berputus asa dari rahmat Allah. Kalimat ini adalah ucapan Yakub kepada anak-anaknya, ketika meminta anak-anaknya untuk mencari Yusuf, tetapi cerita ini telah Allah tetapkan dalam al-Qur’an dan berlaku sebagai syariat Allah. Innahu, sesungguhnya, la yai’asu mirrauhillahi illal qaumul kafirun, mereka yang berputus asa dari rahmat Allah adalah orang-orang yang kafir. Artinya keputusasaan itu adalah akhlak orang kafir, dan jika sampai ada orang beriman melakukannya maka itu menjadikannya kufur kepada Allah.
Ayat yang senada Allh juga sampaikan dalam al Qur’an Surat Az-ummar [39]: 53:

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini berisi pengharapan kepada kaum musrifun (melampai batas), termasuk didalamnya adalah al mujrimun (orang yang berdosa) bahwa betapapun dosa seorang hamba manakala ia masih beriman kepada Allah dan tidak mensekutukannya (syirik), maka Allah masih menyediakan uang ampunan kepadanya.
Semua dosa masih mungkin diampuni Allah, meski belum sepadan kita dalam menukarnya dengan amal sholeh yang kita lakukan kecuali dosa syirik (An Nisa’: 48), meski demikian pelaku syirik juga tidak kehilangan kesempatan untuk mendapat rahmat Allah jika kemudian ia bertobat (kembali ke jalan Allah) dan meninggalkan kesyirikan itu selama-lamanya.
Jadi tidak ada alas an untuk putus asa bagi manusia yang beriman kepada Allah.

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (An Nisa’: 116).
Artinya, sebesar apapun dosa seseorang maka ampunan Allah masih tersedia untuknya jikalau Allah menghendaki, tentu dengan keadilan-Nya. Andaikata ia meninggal maka ia masih berhak mendapatkan perlakuan sebagaimana orang beriman dan yang masih hidup tidak boleh putus asa untuk mendoakannya meski pada akhirnya Allah lah yang menentukan nasibnya di akherat kelak. Wallahu a’lam.

OPTIMIS BERBEDA DENGAN PANJANG ANGAN-ANGAN

Seseorang yang memiliki harapan maka hendaklah ia mengejar harapannya dengan kerja keras inilah optimism. Yaitu pengharapan akan hasil kerja kerasnya dalam mengejarnya. Seseorang yang optimis akan datangnya rahmat Allah adalah mereka yang berjuang mendapatkan rahmat itu, bukan orang yang duduk manis berpangku tangan. Orang berdosa yang optimis mendapat ampunan Allah adalah mereka yang melakukan taubatan nashuha, kembali jalan yang benar, meninggalkan sejauh-jauhnya jalan yang keliru itu dan menutupnya dengan amal shaleh.

(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah [An Nisa’: 123].
Rahmat dan ampunan Allah itu ‘laisa amaaniyyiku walaa amannii ahlil kitab’, -bukan berdasar angan-anganmu maupun angan-angan ahli kitab- tetapi berdasarkan ketentuan dan janji-janji Allah. Ada syarat-syarat yang harus ditempuh dengan kerja keras (jihad) untuk mencapainya.
Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’ yang terpuji hanya ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya diterima, adapun roja’ tanpa disertai amalan adalah roja’ yang palsu, angan-angan belaka dan tercela.” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58). 

Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti? (Al A’raf  [7]: 169)
                      
Allah mengabarkan bahwa akan ada pewaris kitab yang menganggap remeh perbuatan dosa, yaitu terhanyut dengan harta dunia yang rendah nilainya. Mereka bergelimang dosa dan maksiat tetapi mereka merasa aman dari siksa Allah, karena angan-angan kosong mereka bahwa mereka akan diampuni oleh Allah atas dosa-dosa mereka. Inilah pengharapan yang keliru dan lawan dari khauf yaitu perasaan aman dan pengharapan yang tiada berdasar kebenaran.

     





No comments:

Kepemimpinan dalam Islam

Kepemimpinan Kepemimpinan dalam berfungsi untuk mengkoordinasikan, memimpin dan mengatur setiap pelaksanaan syariat. Ada beberapa istilah k...