Makna roja’ adalah harapan yang baik atau optimis. Syaikh
Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk
mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang
diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.” (lihat Syarh
Tsalatsatu Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata:
“Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu yang
disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Bahwa ketika seseorang
beribadah kepada Allah maka didalamnya harus ada rasa optimis bahwa Allah akan
memberikan pertolongan, rahmat dan ridho-Nya.
Maka lawan makna dari optimis adalah putus asa.
Makna syara’:
Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’
adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan
kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan
dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan
usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul,
hal. 136).
Roja adalah perasaan tenang dalam diri seseorang menunggu
sesuatu yang diharapkan dengan alasan yang syar’i. Perasaan opiimis akan
memberikan pengharapan yng baik atau prasangka yang baik. Bagi orang yang
beriman rasa takut (khauf) akan mendorong orang yang beriman untuk mendekat
diri kepada Allah agar Allah ridha kepadanya, demikian juga roja’ akan seiring
dengan khauf karena orang yang beriman berpengharapan Allah akan memberikan
ridha-Nya, keduanya menjadi sikap yang sinergi mendekatkan seorang hamba kepada
Allah ta’ala.
Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “Khouf dan roja’
saling beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga seorang
hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan
khawatir tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan rahmat-Nya…” (Taisirul
Wushul, hal. 136. lihat juga Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 60)
Bagi orang beriman paling tidak ada dua opimisme yang
menyertai ibadahnya yaitu:
-
Optimis akan datangnya
rahmat Allah.
-
Optimis akan datangnya
ampunan Allah.
TAKUT DAN HARAP BERIRINGAN DALAM IBADAH
dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah
Amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. AL A’raf [7]: 56).
Allah
memerintahkan ud’uhu, menyeru atau secara umum beribadah kepada Allah itu
harus disertai khaufan wa thoma’an yaitu hadirnya rasa takut dan
pengharapan. Pengabdian itu karena ketakutan akan timbulnya murka Allah
terhadap dirinya dan pengharapan akan adanya cinta dan ridlo Allah ta’ala
kepadanya. Dan itu akan hadir manakala seseorang senantiasa menghindari
perilaku fasad (merusak) dan senantiasa beramal sholeh (perbaikan).
HILANGNYA
ROJA’ (OPTIMISME) ADALAH KEKUFURAN
Hai
anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya
dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
Dalam
ayat tersebut Allah dengan kalimat larangan berkata, wala tai’asu mir
rauhillah, janganlah engkau berputus asa dari rahmat Allah. Kalimat ini
adalah ucapan Yakub kepada anak-anaknya, ketika meminta anak-anaknya untuk
mencari Yusuf, tetapi cerita ini telah Allah tetapkan dalam al-Qur’an dan
berlaku sebagai syariat Allah. Innahu, sesungguhnya, la yai’asu mirrauhillahi
illal qaumul kafirun, mereka yang berputus asa dari rahmat Allah adalah
orang-orang yang kafir. Artinya keputusasaan itu adalah akhlak orang kafir, dan
jika sampai ada orang beriman melakukannya maka itu menjadikannya kufur kepada
Allah.
Ayat
yang senada Allh juga sampaikan dalam al Qur’an Surat Az-ummar [39]: 53:
Katakanlah:
"Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Ayat
ini berisi pengharapan kepada kaum musrifun (melampai batas), termasuk
didalamnya adalah al mujrimun (orang yang berdosa) bahwa betapapun dosa
seorang hamba manakala ia masih beriman kepada Allah dan tidak mensekutukannya
(syirik), maka Allah masih menyediakan uang ampunan kepadanya.
Semua
dosa masih mungkin diampuni Allah, meski belum sepadan kita dalam menukarnya
dengan amal sholeh yang kita lakukan kecuali dosa syirik (An Nisa’: 48), meski
demikian pelaku syirik juga tidak kehilangan kesempatan untuk mendapat rahmat
Allah jika kemudian ia bertobat (kembali ke jalan Allah) dan meninggalkan
kesyirikan itu selama-lamanya.
Jadi
tidak ada alas an untuk putus asa bagi manusia yang beriman kepada Allah.
Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia
mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah
tersesat sejauh-jauhnya. (An Nisa’: 116).
Artinya,
sebesar apapun dosa seseorang maka ampunan Allah masih tersedia untuknya
jikalau Allah menghendaki, tentu dengan keadilan-Nya. Andaikata ia meninggal
maka ia masih berhak mendapatkan perlakuan sebagaimana orang beriman dan yang
masih hidup tidak boleh putus asa untuk mendoakannya meski pada akhirnya Allah
lah yang menentukan nasibnya di akherat kelak. Wallahu a’lam.
OPTIMIS
BERBEDA DENGAN PANJANG ANGAN-ANGAN
Seseorang
yang memiliki harapan maka hendaklah ia mengejar harapannya dengan kerja keras
inilah optimism. Yaitu pengharapan akan hasil kerja kerasnya dalam mengejarnya.
Seseorang yang optimis akan datangnya rahmat Allah adalah mereka yang berjuang
mendapatkan rahmat itu, bukan orang yang duduk manis berpangku tangan. Orang
berdosa yang optimis mendapat ampunan Allah adalah mereka yang melakukan
taubatan nashuha, kembali jalan yang benar, meninggalkan sejauh-jauhnya jalan
yang keliru itu dan menutupnya dengan amal shaleh.
(Pahala dari Allah)
itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut
angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan
diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan
tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah [An Nisa’: 123].
Rahmat
dan ampunan Allah itu ‘laisa amaaniyyiku walaa amannii ahlil kitab’, -bukan
berdasar angan-anganmu maupun angan-angan ahli kitab- tetapi berdasarkan
ketentuan dan janji-janji Allah. Ada syarat-syarat yang harus ditempuh dengan
kerja keras (jihad) untuk mencapainya.
Syaikh
Al ‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’ yang terpuji hanya
ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau
bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya diterima, adapun roja’
tanpa disertai amalan adalah roja’ yang palsu, angan-angan belaka dan
tercela.” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58).
Maka
datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang
mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan
diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia
sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah
Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari
apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang
bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti? (Al A’raf [7]: 169)
Allah
mengabarkan bahwa akan ada pewaris kitab yang menganggap remeh perbuatan dosa,
yaitu terhanyut dengan harta dunia yang rendah nilainya. Mereka bergelimang
dosa dan maksiat tetapi mereka merasa aman dari siksa Allah, karena angan-angan
kosong mereka bahwa mereka akan diampuni oleh Allah atas dosa-dosa mereka.
Inilah pengharapan yang keliru dan lawan dari khauf yaitu perasaan aman dan
pengharapan yang tiada berdasar kebenaran.
No comments:
Post a Comment