Muhammadiyah, seperti dilakukan oleh Majelis
Tarjih dan Tajdid, digunakan hisab untuk penetapan awal bulan kamariah,
termasuk bulan-bulan ibadah. Majelis Tarjih dan Tajdid tidak menggunakan
rukyat. Setelah Majelis Tarjih PDM Kota Yogyakarta menelusuri literatur dari
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, setidaknya
ada beberapa alasan mengapa Muhammadiyah lebih memilih menggunakan Hisab dalam
menentukan awal bulan kamariyah, termasuk di dalamnya awal bulan Ramadhan.
Alasan Penggunaan Hisab
Alasan penggunaan hisab dalam
Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
(الرحمن:5)
Artinya: Matahari
dan bulan (beredar) menurut perhitungan
2.
Al-Qur’an Surat Yunus ayat 5
هُوَ
الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ
لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ (يونس:5)
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
(waktu).
3. Hadis
al-Bukhari dan Muslim,
إِذَا
رَأَيْتُمُوْهُ فصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ [رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم] .
Artinya:
Apabila
kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah!
Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [HR
al-Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim].
4. Hadis tentang
keadaan umat yang masih ummi, yaitu sabda Nabi saw,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا
نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ
وَمَرَّةً ثَلاثِينَ [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: Sesungguhnya
kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan
hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua
puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari [HR
al-Bukhari dan Muslim].
Dalam
Muhammadiyah digunakan hisab hakiki wujudul hilal. Arti hisab hakiki adalah
bahwa penanggalan didasarkan kepada gerak sebenarnya (hakiki / sesungguhnya)
dari Bulan. Hisab hakiki berbeda dengan hisab urfi, yang tidak mendasarkan pada
gerak sebenarnya dari Bulan, sehingga antara hisab urfi dan gerak Bulan tidak
selalu sejalan, terkadang hisab urfi mendahului dan terkadang terlambat. Wujudul
hilal artinya keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam setelah
terjadinya konjungsi. Jadi hisab hakiki wujudul hilal itu menetapkan bulan baru
dengan tiga kriteria, yaitu:
a. telah terjadi
ijtimak (konjungsi), yaitu tercapainya satu putaran sinodis Bulan mengelilingi
bumi,
b. ijtimak
terjadi sebelum terbenamnya matahari, dan
c.
pada saat
matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk.
Apa yang dikemukakan di atas adalah alasan syar‘i. Sedangkan alasan
astronomis adalah:
1)
Rukyat tidak
dapat dijadikan landasan untuk membuat kalender, karena dengan rukyat, awal
bulan baru bisa diketahui pada H-1, dan rukyat tidak bisa meramal tanggal jauh
ke depan sehingga tidak mungkin membuat penjadwalan waktu.
2) Rukyat tidak bisa menyatukan tanggal di seluruh dunia
karena rukyat terbatas jangkauannya. Rukyat hanya bisa dipedomani pada kawasan
normal, yaitu kawasan di bawah garis 60º LU dan di atas garis 60º LS. Kawasan
di luar itu adalah tidak normal karena munculnya Bulan akan terlambat. Di kawasan
Lingkaran Artika dan Lingkaran Antartika pada musim dingin yang bisa dilihat
hanya Bulan purnama dan Bulan cembung. Bulan sabit berada di bawah ufuk selama
musim dingin.
3) Rukyat akan
membelah kawasan muka bumi menjadi dua bagian, yaitu kawasan yang bisa merukyat
dan kawasan yang pada sore yang sama tidak bisa merukyat yang berakibat
terjadinya perbedaan memasuki bulan baru. Kawasan yang sudah bisa merukyat
hilal memasuki bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, sementara
kawasan yang tidak bisa melihat hilal pada sore tersebut memasuki bulan baru
lusa. Rukyat akan senantiasa membelah muka bumi, sehingga mustahil menyatukan
awal bulan kamariah berdasarkan rukyat. Berikut ini adalah peta kurve rukyat
Syawal 1428 H (11 Oktober 2007 M) berdasarkan kriteria rukyat ‘Audah.
Kurve rukyat
Syawal 1428 H (11 Oktober 2007 M).
Garis A adalah
garis terbenamnya Matahari dan Bulan bersamaan. Sedangkan kurve B menunjukkan
bahwa kawasan di dalam kurve B tersebut bisa merukyat hilal Syawal pada sore
Kamis 11 Oktober 2007. Tampak bahwa hilal Syawal terlihat di kawasan kecil di
selatan benua Amerika Latin, yaitu beberapa daerah di Cile, sementara di
ibukota Santiago sendiri hilal Syawal tidak dapat dilihat. Pada kawasan dunia
lainnya hilal syawal 1428 (2007) tidak dapat dirukyat pada hari tersebut.
Keadaan ini memaksa dunia memasuki 1 Syawal 1428 H pada hari yang berbeda.
4) Atas dasar
itu, maka pada tahun tertentu, rukyat akan memaksa umat Islam di dunia untuk
melaksanakan puasa Arafah pada hari yang berbeda dengan hari terjadinya wukuf
di Arafah (Mekah) secara riil. Sebagai contoh adalah Zulhijah 1431 H. Pada sore
Sabtu (hari konjungsi) 06 November 2010 M, di Mekah tinggi (titik pusat) Bulan
geosentrik saat Matahari terbenam baru mencapai setengah derajat (0,5º). Tinggi
toposentrik malah masih minus. Itu artinya Mekah akan menggenapkan Bulan
Zulkaidah 30 hari dan akan memulai tanggal 1 Zulhijah 1431 H pada hari Senin 08
November 2010 M dan hari Arafah akan jatuh pada hari Selasa 16 November 2010 M.
[Catatan: di Mekah rukyat selalu tidak akurat, sering terjadi klaim rukyat
padahal Bulan masih di bawahg ufuk sebagaimana kasus-kasus beberapa tahun
belakangan]. Sementara itu di bagian selatan benua Amerika Latin hilal Zulhijah
insya Allah terlihat pada hari Sabtu 06 November 2010 H apabila langit cerah.
Di ibukota Cile, Santiago, tinggi Bulan geosentrik adalah 09º 49’ 35”. Itu
artinya bahwa sebagian besar masyarakat Muslim Amerika Latin akan memasuki 1
Zulhijah pada hari Ahad 07 November 2010 M dan hari Arafah akan jatuh pada hari
Senin 15 November 2010 M. Jadi timbul perbedaan hari mengerjakan puasa Arafah
antara Mekah dan Amerika Latin. Pertanyannya kapan orang Muslim di sana
melaksanakanpuasa Arafah: pada hari Senin sesuai penanggalan mereka? Padahal di
Mekah belum terjadi wukuf karena wukuf baru keesokan harinya (Selasa). Atau
mereka menunda satu hari, menunggu wukuf hari Selasa di Mekah, tapi itu adalah
hari Idul Adha bagi mereka (tanggal 10 Zulhijah). Inilah problem penanggalan
yang ditimbulkan oleh rukyat.
Contoh lain
adalah Zulhijah 1455 (Februari 2034 M). Sore Ahad 19 Februari 2009 M, hilal
Zulhijah diperkirakan dapat dilihat di Mekah. Konjungsi terjadi hari Ahad
19-02-2034 M pukul 02:10 Waktu Mekah dan tinggi Bulan geosentrik saat matahari
terbenam sore Ahad adalah 07º 34’ 26”. Ini artinya Mekah memulai 1 Zulhijah
1455 H pada hari Senin 20 Februari 2034 M dan arafah jatuh pada hari Selasa 28
Februari 2034 M. Sementara di Yogyakarta tinggi geosentrik titik pusat Bulan
baru mencapai 03º 29’ 30” (tinggi toposentrik 02º 29’ 49”). Menurut kriteria
Istambul dan ‘Audah, tinggi Bulan demikian belum memungkinkan untuk dapat
dirukyat. (Catatan: di Indonesia tinggi 2º saja dianggap telah dapat dirukyat,
dan ini tidak sesuai dengan kriteria internasional). Jadi rukyat akan memaksa
Indonesia memasuki Zulhijah 1455 H (2034 M) pada hari berbeda dan akan
menimbulkan problem pelaksanaan puasa Arafah. Jadi rukyat tidak dapat
menyatukan kalender Islam dan sebaliknya memaksa memasuki bulan kamariah baru
pada hari berbeda sehingga timbul problem anatara lain pelaksanaan puasa
Arafah.
Dengan alasa-alasan di atas,
maka tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan hisab. Menyadari hal ini, maka
Temu Pakar II yang diselenggrakan oleh ISESCO di Maroko tahun 2009 menegaskan
bahwa pemecahan problem penetapan bulan kamariah tidak dapat dilakukan kecuali
berdasarkan penggunaan hisab.
No comments:
Post a Comment