4/27/2016

STIGMATISASI WAHABI, UPAYA AMPUTASI SEJARAH BANGSA

Wahabi, yang fisikeli dinisbat pada kaum berjenggot dan bercadar tiba-tiba saja menjadi isu yang harus digemakan, tidak tanggung-tanggung mereka langsung meng-akuisi "nusantara" dan segera menisbat yang tidak se'aliran dengan mereka sebagai bukan "nusantara". Kemudian istilah wahabi dicipta "sebagai" furqon antara nusantara dan bukan nusantara yang bermakna bukan nusantara berarti tidak nasionalis, tidak layak mendiami nusantara.

Senyatanya, jika menilik sejarah bangsa, wahhabi itu ada setua bangsa ini, meski harus dibuat dafinisi wahhabi itu sendiri. Jika yang disebut wahhabi adalah madzhab pemikiran Islam yang bersumber dari Ibnu Taymiyah dan Syeikh Abdul Wahhab itu sendiri maka sejatinya wahhabi sudah sekian lama menjadi bagian "nusantara" ini. Bahkan jika Islam "tradisional" yang bermadzhab Asya'ariyah, Syafi'iyah dikembangkan oleh para wali yang hampir semuanya pendatang dari timur tengah, maka faham wahhabiyah justru dibawah oleh anak pribumi dari Timur tengah. Contohnya gerakan Kaum Paderi di Sumatra Barat, Haji Miskin Pandai Sikat (Agam) Haji Abdurrahman Piabang (Lubuk Limapuluh Koto), dan Haji Mohammad Haris Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar) adalah pemuda-pemuda asli ranah Minang. Mereka mulai membawakan purifikasi Islam sebagaimana dilakukan Syeikh Abdul Wahhab pada tahun 1801. Dan sejarah mencatat merekalah yang mempertahankan nusantara ini dari imperialisme Belanda dibawah Imam Bonjol dengan peperangan selama kurang lebih 30th.

Bahkan di Jawa, pemikiran wahhabi sudah masuk pada masa pemerintajan Paku Buwono IV, sekitar tahun 1788M, bahkan Sunan Bagus, sebutan lain PB IV tertarik dengan ajarah Wahhabi ini, meski kemudian Pemerintah Belanda mendesak agar orang-orang Wahabi itu diserahkan kepadanya. Pemerintah Belanda cukup tahu, apakah akibatnya bagi penjajahannya, jika faham Wahabi ini dikenal oleh rakyat.

Di masa pergerakan pun, para aktivis pergerakan Islam banyak didominasi oleh mereka yang cenderung dengan pemikiran Ibnu Taymiyah dan Syeikh Abdul Wahhab yang dianggap sebagai sumber utama ajaran Wahhabi, paling tidak mereka mengikut pemikiran Muhammad Abduh atau ataupun Jamaluddin AL Afghani dan Muh rasyid Ridho, secara akidah mereka berkiblat kepada pemikiran Ibnu Taymiyah dan Syeikh ABdul Wahhab. Para aktivis ini kemudian banyak bergabung dalam Partai Masyumi.

Pun Soekarno pun pernah mengutarakan ketertarikannya terhadap "wahabi" ini. Kepada A. Hassan, Soekarno bercerita keinginannya membaca buku "Utusan Wahabi." Ia juga bercerita telah menerjemahkan buku biografi Ibnu Saud. "Bukan main hebatnya ini biografi! Saya jarang menjumpai biografi yang begitu menarik hati," ujar Bung Karno. Ia menuliskan dalam suratnya itu, "Bagi saya buku ini bukan saja satu ikhtiar ekonomi, tetapi adalah pula satu pengakuan, satu confenssion. Ia menggambarkan Ibnu Saud dan Wahhabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan elemen amal, perbuatan begitu rupa hingga banyak kaum ‘tafakur’ dan kaum pengeramat Husain cs (Syiah) akan kehilangan akal nanti sama sekali,"

Muhammadiyah dengan gerkan purifikasi dengan slogan anti TBC, bisa dikatakan membawa spirit wahhabi, bahkan kalau kita menilik buku kuliah tauhidnya Yunahar Ilyas maka disana ada pembagian aqidah menjadi tiga Rububiyah, Uluhiyah dan Mulkiyah serta asma wa syifa, metode pengajaran tauhid khas wahhabi.

Stigmatisasi Wahhabi dahulu dan sekarang
Di Indonesia, stigma Wahabi pernah dilekatkan pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persatuan Islam (PERSIS). Tokoh-tokoh seperti KH Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Soorkati, A. Hassan, dianggap sebagai pengusung paham Wahabi di Indonesia.
Pada masa yang lalu stigmatisasi wahhabi adalah upaya melanggenggang imperalisme. Hari ini stigmatiasi wahhabi tidak lebih dari upaya dari orang-orang yang merasa "minder" dan kala saing agar bisa memenangkan persaingan dengan lebih mudah, bahkan lebih dari itu ada motif duniawi, seperti "proyek" dan kekuasaan.

Wahhabi dalam konteks yang luas tidak bisa diidentifikasi oleh entitas tertentu, ciri pakaian tertentu atau ormas tertentu. Pun sebutan wahhabi atau yang lainnya sebenarnya sangat tidak begitu penting. Karena sesungguhnya yang terpenting adalah kita bisa beragama dengan kesalehan yang shohih, dan kejujuran dalam ucapan dan perbuatan. Ikhlas, menjauhi motif-motif dunia, baik harta, kekuasaan ataupun sanjungan. Kita menghargai perbedaan dalam beragama sepanjang bisa di pertanggungjawabkan. 

No comments:

Kepemimpinan dalam Islam

Kepemimpinan Kepemimpinan dalam berfungsi untuk mengkoordinasikan, memimpin dan mengatur setiap pelaksanaan syariat. Ada beberapa istilah ...