6/12/2025

Skeptisisme Modern: Jejak Lama dalam Wajah Baru

 


Pada masa lalu, propaganda ideologi komunis memiliki satu corak yang cukup menonjol: menumbuhkan sikap skeptis terhadap agama, khususnya praktik-praktik spiritual seperti doa. Di balik semangat revolusionernya, komunisme klasik berusaha mengikis keyakinan akan hal-hal metafisik dan menggantinya dengan iman baru kepada negara, partai, dan logika materialisme historis. Dalam banyak narasi, terutama di masa pendidikan ideologis yang ketat, doa dianggap sebagai aktivitas sia-sia. Seorang anak yang berdoa dianggap memelihara harapan palsu, sedangkan anak yang "meminta permen pada ibu guru komunis" akan langsung mendapat hasil nyata — simbol bahwa tindakan material dianggap lebih relevan daripada spiritualitas.


Namun, komunis gaya baru tidak lagi datang dengan palu dan arit yang mencolok, melainkan menyusup melalui alur-alur pemikiran kontemporer yang tampaknya rasional dan kritis. Mereka tidak lagi menyerang agama secara frontal, melainkan melalui jalan skeptisisme sistematis — semacam dekonstruksi nilai yang berujung pada relativisme moral. Mereka memutar logika hingga nilai-nilai seperti pengorbanan, kesetiaan, kesucian, dan keadilan tidak lagi punya dasar yang tetap, karena dianggap produk subjektif budaya atau konstruksi sosial semata.


Skeptisisme semacam ini bukanlah sekadar keraguan metodologis yang sehat dalam berpikir ilmiah. Ia telah menjadi ideologi tersendiri — mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran hakiki, tidak ada nilai yang sakral, dan tidak ada yang layak diperjuangkan selain "kebebasan" untuk meragukan segalanya. Dalam ranah pendidikan, ini hadir lewat kurikulum yang menolak moralitas objektif dan menggantinya dengan teori nilai netral. Di media, hadir dalam bentuk satir yang terus-menerus mendekonstruksi tokoh agama, lembaga sosial, dan prinsip-prinsip kebenaran. Bahkan dalam ranah sosial, skeptisisme ini membuat masyarakat mulai enggan percaya pada makna kehidupan yang lebih tinggi di luar dunia fisik.


Mereka yang masih percaya bahwa doa punya kekuatan transendental, bahwa hidup memiliki makna spiritual, atau bahwa ada nilai-nilai abadi yang melampaui zaman, dicap sebagai kuno, dogmatis, atau tertinggal. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa kemajuan besar peradaban manusia lahir dari nilai-nilai yang justru dijaga dan diyakini — bukan karena semuanya bisa dibuktikan secara empiris, tetapi karena manusia tetap butuh arah moral dan spiritual di tengah gelombang perubahan.


Dalam situasi ini, peran pendidikan spiritual dan moral menjadi semakin penting. Bukan dalam bentuk dogmatisme buta, tapi sebagai benteng terhadap nihilisme yang menggerogoti kepercayaan kita terhadap makna hidup. Anak-anak perlu diajarkan bahwa ada hal-hal yang tak terlihat tapi nyata — seperti cinta, doa, pengharapan, dan kebaikan — yang mungkin tidak langsung terasa hasilnya seperti permen dari guru, tetapi memiliki daya yang jauh lebih besar dalam membentuk karakter dan martabat manusia.


Komunisme gaya baru tak selalu berbicara dengan jargon revolusi. Terkadang ia berbisik halus dalam seminar filsafat atau unggahan media sosial. Tapi tujuannya tetap sama: menghapus fondasi-fondasi moral dan spiritual masyarakat agar lebih mudah dibentuk ulang sesuai agenda ideologis tertentu. Kita perlu waspada — bukan dengan paranoia, tapi dengan kesadaran kritis dan peneguhan kembali terhadap nilai-nilai luhur yang menjadi akar jati diri bangsa dan peradaban.


Centro Buku Bekas 

#centrobukujogja

#sarjonoranudimedja

No comments:

Merugilah Anak yang Tak Menjadikan Orang Tua Renta sebagai Jalan ke Surga

Beberapa waktu lalu, beredar di media sosial sebuah video menyayat hati: seorang wanita tua duduk termenung di sebuah panti jompo. Matanya k...