7/11/2025

Hijrah: Fondasi Peradaban dan Revolusi Spiritual



Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Yatsrib (yang kemudian dikenal sebagai Madinah) bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan sebuah titik balik fundamental dalam sejarah Islam. Tahun Hijriyah sendiri menjadi penanda dimulainya kalender Islam, mengabadikan momen yang melampaui perjalanan biasa; ia adalah sebuah revolusi spiritual, sosial, dan politik yang membentuk fondasi peradaban Islam. Hijrah adalah syariat yang berat, dan keberatannya terletak pada tuntutan pengorbanan yang mendalam, sebuah tema yang akan kita jelajahi melalui dalil, sejarah, dan perspektif ulama.

Mengapa Hijrah Disebut Berat? Pengorbanan Totalitas

Hijrah disebut berat karena ia menuntut pengorbanan total dari segala aspek kehidupan. Para sahabat Nabi meninggalkan tanah kelahiran mereka yang dicintai, Mekah, tempat mereka tumbuh besar, bersosialisasi, dan memiliki harta benda. Mereka meninggalkan keluarga, kerabat, dan mata pencarian demi mematuhi perintah Allah SWT dan menjaga keimanan mereka. Ini adalah ujian keikhlasan yang luar biasa, memisahkan diri dari segala ikatan duniawi yang mungkin menghambat ketaatan penuh kepada Allah.

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman mengenai pentingnya hijrah dan beratnya pengorbanan ini:

"Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nisa: 100)

Ayat ini menegaskan pahala yang besar bagi para muhajirin dan mengindikasikan risiko serta pengorbanan yang terlibat dalam perjalanan tersebut, bahkan hingga gugur di tengah jalan. Ini menunjukkan betapa seriusnya perintah hijrah dan bagaimana ia menguji kadar keimanan seseorang.

Sejarah Hijrah: Sebuah Babak Baru Perjuangan

Secara historis, Hijrah terjadi pada tahun 622 Masehi. Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya menghadapi penganiayaan dan penindasan yang semakin parah dari kaum Quraisy di Mekah. Kebebasan beribadah dan berdakwah menjadi sangat terbatas. Setelah menerima undangan dari penduduk Yatsrib yang telah memeluk Islam (Ansar), Nabi memutuskan untuk berhijrah.

Perjalanan Hijrah bukanlah tanpa tantangan. Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq harus melakukan perjalanan secara sembunyi-sembunyi, melewati gurun pasir yang luas, dan menghadapi bahaya dari pengejaran kaum Quraisy. Namun, dengan pertolongan Allah, mereka berhasil sampai di Yatsrib dengan selamat.

Setibanya di Madinah, Nabi Muhammad SAW segera meletakkan dasar-dasar negara Islam pertama. Ini mencakup pembangunan Masjid Nabawi sebagai pusat ibadah dan komunitas, mempersaudarakan kaum Muhajirin (pendatang dari Mekah) dengan kaum Ansar (penduduk asli Madinah), dan menyusun Piagam Madinah yang mengatur hubungan antarberbagai komunitas di Madinah, termasuk Yahudi dan Nasrani. Ini adalah bukti nyata bahwa Hijrah bukan hanya pelarian, melainkan langkah strategis untuk membangun peradaban baru berdasarkan prinsip-prinsip Islam.

Hijrah: Melepaskan Ikatan dan Membangun Sistem Sendiri

Lebih dari sekadar perpindahan geografis, Hijrah adalah keputusan besar untuk melepaskan segala ikatan yang menghambat keikhlasan kita kepada Allah. Ini adalah tentang memutus hubungan dengan lingkungan, sistem, atau kondisi yang rusak, yang tidak mendukung atau bahkan menentang nilai-nilai ilahi. Di Mekah, sistem sosial dan ekonomi didominasi oleh kesyirikan dan ketidakadilan. Hijrah adalah deklarasi untuk melepaskan diri dari sistem tersebut dan menegaskan kedaulatan Allah dalam segala aspek kehidupan.

Para ulama kontemporer sering menafsirkan Hijrah dalam konteks yang lebih luas. Syekh Yusuf Al-Qaradawi, misalnya, sering menekankan bahwa Hijrah bukan hanya perpindahan fisik, tetapi juga hijrah spiritual dan moral. Ini berarti meninggalkan kebiasaan buruk menuju kebaikan, dari kemaksiatan menuju ketaatan, dan dari kondisi stagnan menuju perbaikan diri yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, setiap muslim dituntut untuk "berhijrah" dari segala hal yang menjauhkan diri dari Allah dan Rasul-Nya.

Hijrah juga dimaknai sebagai memerdekakan diri, membuat sejarah, dan peradaban sendiri. Di Madinah, umat Islam tidak lagi menjadi kaum tertindas, melainkan menjadi pembangun peradaban. Mereka membentuk masyarakat yang adil, mandiri, dan berlandaskan pada syariat Allah. Ini adalah esensi dari kemerdekaan sejati: kemampuan untuk menentukan arah dan nasib sendiri, bebas dari kungkungan ideologi atau sistem yang merusak.

Hijrah: Konsolidasi Kekuatan dan Visi Masa Depan

Peristiwa Hijrah juga merupakan konsolidasi kekuatan. Dengan berkumpulnya kaum Muhajirin dan Ansar di bawah satu kepemimpinan, umat Islam menjadi kekuatan yang solid dan terorganisir. Konsolidasi ini memungkinkan mereka untuk mempertahankan diri dari agresi musuh, menyebarkan dakwah Islam dengan lebih efektif, dan membangun negara yang kokoh. Dari Madinah, cahaya Islam mulai memancar ke seluruh penjuru dunia.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya seringkali mengulas pentingnya Hijrah sebagai perintah yang menguji kesetiaan. Beliau menjelaskan bahwa kesabaran dan pengorbanan yang ditunjukkan oleh para Muhajirin merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam sepanjang masa. Hijrah adalah bukti bahwa keimanan sejati memerlukan pengorbanan dan kesiapan untuk meninggalkan segala kemewahan dunia demi ridha Allah.

Hijrah tonggak awal ke fase perjuu

Hijrah adalah lebih dari sekadar perjalanan, ia adalah sebuah konsep holistik yang mencakup pengorbanan, pelepasan, pembangunan, dan konsolidasi. Keberatannya terletak pada tuntutan untuk meninggalkan zona nyaman dan segala ikatan duniawi demi ketaatan mutlak kepada Allah. Dari sejarahnya yang monumental hingga penafsiran ulama yang mendalam, Hijrah mengajarkan kita tentang pentingnya melepaskan diri dari sistem yang rusak, membangun peradaban yang berlandaskan keadilan, dan mengkonsolidasi kekuatan untuk mencapai visi masa depan yang lebih baik. Bagi setiap muslim, Hijrah adalah seruan untuk terus bergerak maju, meninggalkan apa yang buruk, dan menuju pada kebaikan yang hakiki, demi menggapai ridha Ilahi.


No comments:

Paradoks Aktivisme Islam: Antara Cita-Cita Keadilan dan Otoritarianisme Baru

  Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, aktivisme Islam sering muncul sebagai suara yang lantang mengkritik ketidakadilan, korupsi...