2/28/2008

Nalar Ilahiyah

Beranilah untuk mengetahui!” begitulah kata Immanuel Kant ketika ia mencoba mengawali abad pencerahan di Eropa. Ketika pada masa itu segala pengetahuan harus berdasarkan pakem gereja, logis atau mustahil-yakin atau ragu. Otak masyarakat Eropa harus dikerangkeng dalam kotak berlapis yang bernama otoritas gereja dan pemerintah.

Abad pencerahan Eropa ditandai dengan pembangkangan kaum cendekia terhadap segala macam dogma agama yang terlalu mengada-ada, dan kadang menjungkirbalikan konsepsi ilmiah apapun. Dan ia harus tetap diteguhkan sebagai satu-satunya kebenaran.

Ketika pada abad ke lima Masehi, kemudian muncul Muhammad sebagai seorang pembawa ajaran ketuhanan-dimana di Eropa dianggap sebagai belenggu pemikiran. Tapi apa yang dibawanya sesungguhnya ada sebuah konsepsi yang mirip dengan apa yang dikatakan oleh Immanuel Kant, “Beranilah untuk tahu!”. Maka dalam kitab suci yang dibawa Muhammad tertulis, “I’lam!”, Ketahuilah!”. Bahkan lebih dari sekedar sebuah anjuran untuk “berani tahu” tetapi sebagai sebuah kewajiban untuk “harus tahu” dengan “mencari tahu”. Dan lebih dari sekedar “berani tahu”-nya Immanuel Kant, tetapi Iqra’ yang bermakna “buatlah analisis”.

Sebuah revolusi pemaknaan terhadap kehidupan, bahwa ada proses pembacaan, analis, pemahaman dan pengilmuan. Dan yang lebih menarik adalah bahwa akhir dari sebuah pengilmuan adalah pertemuan logika dengan ketuhanan, keilahian. Dalam alqur’an tertulis “fa’lam annahu laa ilaha ilallaah” yang berarti ilmukanlah sampai kepada pemahaman bahwa tiada Tuhan selain Allah.

Maka jika abad kegelapan Eropa diakibatkan oleh terbelenggunya ilmu oleh penjara agama dan kekuasaan yang bersekutu, sehingga melahirkan sebuah pemberontakan pemikiran yang ingin memisahkan Tuhan sejauh-jauhnya agar tidak lagi membelenggu. Di dunia Islam dituliskan secara eksplisit bahwa pengilmuan haruslahlah menjadi jalan pertemuan manusia dengan Tuhannya. Atau bahkan ilmu adalah satu-satunya jalan menuju Tuhan.

Namun dalam bernalar bagi seorang muslim tetap harus berhati-hati, karena manusia mempunyai kencenderungan untuk tertipu dengan nalarnya. Kaum atheis mencoba mengutak-atik nalar mereka untuk menafikan sebuah proses penciptaan menjadi kumpulan kejadian-kejadian yang tak beraturan menjadi sebuah bentuk yang sempurna. Manusia adalah hasil dari kecelakaan genetic hewan-hewan rendah yang secara kebetulan menjadi lebih sempurna. Karenanya bukan karena Tuhan yang mengatur. Itulah sebuah logika. Percaya atau tidak?

Dalam al-Qur’an dikatakan wamaa yantiqu ‘anil hawa, dan tidaklah Muhammad berlogika dengan hawa nafsu. Begitulah penjelasan al-Quran terhadap nalar Muhammad agar sampai kepada Tuhannya. Jangan bernalar dengan sebuah tendensi asal benar, asal menguntungkan, asal bisa mengalahkan lawan. Dan ini dilupakan oleh sebagian cendekiawan sehingga ilmu justru tak menjadi jalan menuju logika Ketuhanan.

Logika ketuhanan tidak membelenggu kaum cendekia untuk berkarya, ada sekian formula dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh logika ini, mulai dari angka nol, angka arab, aljabar, anatomi ibnu sina, decimal sampai filsafat Ibnu Rusdi diciptakan oleh logika ini. Dan semuanya tidak membuat para cendekia dan filsuf-filsuf muslim lari dari Tuhannya.

In Huwa ila wahyu yuha, dan dia tidak bernalar kecuali dengan nalar ilahiyah.


No comments:

Kepemimpinan dalam Islam

Kepemimpinan Kepemimpinan dalam berfungsi untuk mengkoordinasikan, memimpin dan mengatur setiap pelaksanaan syariat. Ada beberapa istilah ...