2/28/2008

Kehidupan: kerelaan atau keterpaksaan?

Nyawa adalah unsure kehidupan yang paling hakiki, meski ia sesungguhnya teramat abstrak. Ada atau tidak, nyawa adalah sebagai sebuah penanda bagi mahluk hidup. Dan kehidupan sendiri adalah sesuatu yang misterius bagi seluruh makhluk hidup, karena eksistensi kehidupan kepengaturannya sungguh tak terjangkau makhluk hidup itu sendiri. Karema nalar, kehendak, dan kesadaran ada setelah kehidupan ada terlebih dahulu maka sesungguhnya kehidupan jelas diluar jangkauan yang hidup. Kehendak, keinginan dan kesadaran tidak bisa pada harapan akan datangnya kehidupan dan ketidakhidupan. Meski kehidupan dan ketidak-hidupan dapat direncanakan sebab-sebabnya tetap saja ia bukan sesuatu yang dapat memastikan datangnya kehidupan atau hilangnya kehidupan itu sendiri. Atau pada intinya ada supremasi yang takterjangkau kehidupan yang mengatur kehidupan itu sendiri.

Dalam piagam hak asazi manusia dikatakan bahwa kehidupan adalah asazi setiap orang. Meski sebenarnya kurang tepat, karena pada kenyataannya tidak ada satu kehidupan pun yang mampu mengurangi atau menambah atau menghalangi atau mengharuskan suatu kehidupan. Yang paling tepat seharusnya bahwa setiap manusia yang hidup berhak mempertahankan syarat-syarat kehidupannya, dengan tidak dihalangi pemenuhannya atau dilakukan kepadanya sesuatu yang dapat menimbulkan hilangnya kehidupannya.

“Nyawa” adalah sebuah kata benda abstrak untuk mencoba mematerialisasi, membendakan kehidupan sehingga menjadi sesuatu yang berujud. Dalam Islam dikenal dengan istilah ruh, bagaimanapun ruh juga termasuk sesuatu yang abstrak, tak terindra atau gaib. Untuk hal-hal yang abstrak atau gaib ini manusia dilarang untuk sok tahu, karena logika manusia manusia memang di persiapkan hanya untuk hal-hal yang inderawi. Sehingga ruh, yang gaib ini di katakana oleh Allah bahwa, “ruh adalaha urusan Tuhan.” Sehingga kehidupan sesungguhnya adalah urusan Tuhan. Meski keberlangsungan kehidupan, atau paling kehidupan dalam taraf yang lebih luas, dalam mempertahankannya, membuatnya lebih bermakna-itu sudah pada tingkat inderawi. Kesadaran manusia sudah dapat menjangkaunya, sehingga ia menjadi tanggung jawab makhluk-makhluk yang hidup itu sendiri.

“Aku ada, karena aku berfikir!” kata Rene Discartes. Berfikir adalah proses kesadaran manusia. Ketika ia mampu manganalisa diri dan lingkungannya maka manusia mulai untuk berfikir. Menyadari eksistensi dirinya, menganalisa kebutuhan dirinya untuk bisa survive dalam lingkungannya. Inilah kehidupan dalam konteks yang paling minimalis, sebelum kemudian ada kesadaran-kesadaran yang lain seperti kesadaran kolektif, dan kesadaran sosial. Dan itu adalah perkembangan lebih lanjut dari proses berfikir. Dalam makna yang paling harfiah maka apa yang dikatakan Discartes adalah sepenuhnya benar. Untuk tetap ada, eksis dan survive, manusia harus berfikir dan menemukan cara untuk mempertahankannya. Manusia yang tak mampu berifikir untuk mempertahankan eksistensinya akan terlempar dari kehidupan. Tereliminasi oleh seleksi alam yang amat kompetitif.

Kita semua hidup, begitu saja, tanpa sebuah proses tawar menawar. Dan ketika kita menyadari kehidupan kita pun tidak ada alternative yang ditawarkan kecuali bahwa kita harus bertahan. Tidak ada pilihan untuk mencoba tidak hidup misalnya, karena hidup terlalu berat, tidak bisa. Pun andai kata kita begitu bahagia dalam hidup maka tetap tidak ada tawaran untuk berapa lama kita hidup, setahun atau seratus tahun? Tidak ada tawaran. Tapi percayalah sumber daya yang tersedia pada diri kita cukup untuk mempertahankan kheidupan kita pada lingkungan yang kita diami sekarang. Dan seberapapun waktu yang diberikan cukup untuk melakukan yang terbaik dalam hidup kita, hanya kadang kita terlena, atau sering malahan. Semoga tidak!


No comments:

Kepemimpinan dalam Islam

Kepemimpinan Kepemimpinan dalam berfungsi untuk mengkoordinasikan, memimpin dan mengatur setiap pelaksanaan syariat. Ada beberapa istilah ...