2/28/2008

Visi dan Misi Kebersatuan dan Kebangsaan Kita

Pada tahun-tahun pra kemerdekaan selama kurun waktu 1928 -1940, pada masa-masa itu banyak sekali bertebaran tulisan-tulisan yang dibuat oleh para tokoh pergerakan yang kebanyakan kaum muda. Sebagian besar tulisan mereka berisi gagasan-gagasan mengenai sebuah idealisme kebangsaan serta permasalahannya di tengah-tengah kancah dunia yang amat sulit. Dimana waktu itu bangsa ini masih berada dalam kungkungan penjajahan yang memang menjadi cirri politik dunia pada waktu itu.

Kalau kini kita merasakan bahwa kita adalah satu kesatuan bangsa dari sabang sampai merauke maka pada masa itu semua masih dalam taraf wacana. Ada pertanyaan menarik yang paling mendasar pada waktu itu untuk sebuah proses pembentukan sebuah bangsa. Adalah “Apakah perlu sebuah kesatuan untuk masyarakat hindia (masyarakat Indonesia waktu itu), ditengah perbedaan geografis, adat, budaya dan agama sebagai kenyataan di masyarakat?”, “Apakah kesatuan itu memang dikehendali?”.

Pernah dijawab atau tidak pertanyaan itu pada kenyataannya hari ini Negara Indonesia meliputi semua wilayah bekas jajahan Belanda yang terbentang dari Barat Aceh sampai Timur Merauke. Atau mungkin kebersatuan Indonesia ditengah kebhinekaan itu terjadi begitu saja tanpa sebuah konsep dasar atau bahkan kontrak bersama? Saya tidak tahu jawabannya atau lebih tepatnya saya juga tidak tahu siapa yang harus menjawabnya.

Hamper satu abad lalu, rakyat bangsa Indonesia yang centang perenang di bawah penjajahan asing mencoba menggagas sebuah ide untuk masa depan. Keberagaman nusantara menjadi sebuah pertimbangan akankah mungkin kebersatuan itu terwujud, seberapa penting makna kebersatuan tersebut, seberapa keuntungan dapat diambil?

Kini setelah setengah abad lebih kita dipersatukan dalam satu kerangka Negara, tiba-tiba kita seperti berjalan di tengah-tengah jalan tanpa ujung pangkal. Kita lupa bahwa sejarah kebersatuan kita adalah sebuah proses panjang yang memakan banyak pengorbanan, bahwa kebersatuan kita dirangkai dengan harapan-harapan masa depan. Sebuah kontrak sosial yang basi karena kesejarahan kita seringkali terputus, kita berlari dengan kebimbangan karena kehilangan tongkat estafet. Kita tidak sedang meneruskan pelari sebelum kita pun tak hendak memberikan tongkat estafet ke pelari selanjutnya. Kini kita berhasil merasa menjadi satu bangsa, mengatasi segala perbedaan, tapi kita tak berhasil menggagas idealisme bangsa. Kita gagal menggagas visi dan misi kebangsaan kita.

Setelah setangah abad berlalu kembali pertanyaan masa lampau, yang terbenam dalam sejarah lahir kembali, tapi mungkin dalam ujud yang lebih evaluatif seperti: apa yang telah kita dapatkan dari setengah abad perjalan persatuan ini? Ya, hari ini kita tak lagi terkotaki perbedaan adat dan budaya maupun agama, tapi tenggelam dalam kenyataan yang ironis; karena kita memang tak lagi mempunyai akar adapt-istadat, budaya dan agama. Kita sekedar mengalir mengikuti arus zaman yang sedang membuat sebuah “budaya global” dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Rasa-rasanya telah tiba saatnya bagi kita kembali untuk bertindak, saya katakan demikian karena paling tidak ada dua alternative yang dapat kita pakai untuk melanjutkan perjalanan kebangsaan kita. Yang pertama bahwa kita kembali menggali kesejarahan kebersatuan kita, mengingat kembali kontral sosial masa lalu kita, menepatinya dengan segala visi dan misi yang tercakup di dalamnya. Atau yang kedua kita membuat sebuah keputusan untuk memulai menggagas sebuah paradigma baru untuk memandang kebersatuan kita, dan mulai mengonsep sebuah visi dan misi mendatang.

Kalau boleh memilih saya pilih yang kedua, karena setiap masa mempunyai kencenderungannya sendiri. Tetapi mengingat kadangkala kita sudah terlanjur mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, yang telah menjadi keberagaman baru menggantikan keberagaman, adat, budaya dan agama yang dahulu menjadi kendala kecil kebersatuan, dan kini telah usang, rasa-rasanya akan kesulitan kita membuat sebuah konsepsi bersama. Tapi keberagaman kepentingan biasanya lebih mudah diselesaikan melalui kontrak politik, karena parameter keuntungan dan hasil yang didapatkan lebih mudah diukur.

Kembali kepada visi dan misi kita kedepan, tak pelak itu tetap menjadi sebuah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dan eksistensi bangsa kita di masa mendatang tetap membutuhkan visi dan misi tersebut sebagai penerang. Atau kita akan seperti bahasa Aa Gym, yaitu; gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan!


No comments:

Kepemimpinan dalam Islam

Kepemimpinan Kepemimpinan dalam berfungsi untuk mengkoordinasikan, memimpin dan mengatur setiap pelaksanaan syariat. Ada beberapa istilah ...