1/24/2012

SABAR

Amalan Hati: Sabar
sabar
Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah "Shobaro", yang membentuk infinitif (masdar) menjadi "shabran". Dari segi bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Sedangkan dalam makna syara’, makna sabar adalah “Bertahan dalam mengerjakan sesuatu yang diperintahkan Allah & menahan diri dari mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh Allah, serta menerima takdir baik yang menyakitkan maupun yang menyenangkan.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95). Ibnul-Mubarak berkata dengan sanadnya dari Said bin Jubeir, “Sabar ialah pengakuan hamba kepada Allah atas apa yang menimpanya, mengharapkan ridha Allah semata dan pahala-Nya. Kadang-kadang seseorang bertahan dengan gigih dengan menguatkan diri, dan tidak terlihat dari dia kecuali kesabaran.” Sedangkan jika mendefinisakan sabar maka akan didapatkan beberapa tingkatan dari sabar. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24). Jadi tingkatan sabar itu adalah:

1. Bertahan dalam mengerjakan perintah.

Adalah bersabar dengan cara berkomitmen sebagai seorang hamba untuk selalu mengikuti apa yang dikehendaki oleh Allah SWT; selalu berjalan sesuai dengan perintah-Nya. Inilah yang disebut sabar ma’allah, tingkatan sabar yang paling tinggi dan paling sulit. Dan Allah selalu bersama dengan orang-orang yang sabar- ‘innallaha ma’a shabirin’ (Al-Baqarah [2]: 153).
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Sabar untuk mengajarkan perintah Allah adalah kesabaran yang paling utama, karena untuk menjalankannya butuh kekuatan yang lebih, kesabaran yang aktif, dan masih banyak alternatif yang lebih mudah ketimbang menjalankan perintah Allah. Berbeda dengan sabar menerima takdir, maka sabar jenis ini adalah satu-satunya pilihan. Sabar atau tidak takdir Allah akan tetap terjadi. Bahkan kewajiban menjalankan perintah Allah bisa ditukar dengan kenikmatan dunia jikalau tidak tahan godaan, sebagaimana yang ditawarkan kepada Rasulullah saw. Ketika paman Rasulullah, Abu Thalib masih hidup, kaum kafir mendatanginya dengan memberikan tawaran berupa kesenangan dunia, yaitu harta, tahta, dan wanita tapi Rasulullah menolak tawaran itu Rasulullah SAW. bersabda: “Kalaupun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan risalah ini, pastilah tidak akan aku meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku binasa.”

2. Menahan diri untuk tidak melakukan yang terlarang.

Untuk sabar ini Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an. Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).” Sesungguhnya nafsu, tipu daya setan, dan teman sejawat yang buruk akan senantiasa memerintahkan dan menyeret seseorang untuk berbuat kemaksiatan. Oleh karenanya, kekuatan kesabaran jenis ini mempengaruhi tindakan seorang hamba dalam meninggalkan segenap kemaksiatan.Sebagian ulama salaf mengatakan,“Setiap orang yang baik maupun yang fajir (pelaku kemaksiatan) turut melakukan kebaikan. Namun hanya orang yang bertitel shiddiq yang mampu meninggalkan seluruh perkara maksiat.”
Lihatlah Nabi Yusuf ketika digoda oleh Zulaikha untuk berbuat lacur, melakukan perbuatan zina yang keji, maka Nabi Yusuf bertahan untuk tidak melanggar larangan Allah tersebut meski dorongan nafsunya ingin melakukannya. Ini adalah kesabaran tingkat dua yaitu menahan diri dari mengerjakan larangan Allah.Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yusuf (12): 53)

3. Menerima takdir baik dan buruk.

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu satu-satunya pilihan. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17). Nabi Yusuf menerima musibah ketika beliau di buang ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, maka ini adalah kesabaran tingkatan pertama yaitu kesabaran untuk menerima musibah atau menerima takdir baik takdir itu menyenangkan dirinya atau mungkin menyengsarakan. Jadi termasuk sabar jenis ini adalah sabar terhadap datangnya musibah. Berkaitan sabar terhadap takdir ini Beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Segala perkara yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila kebaikan dialaminya, maka ia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila keburukan menimpanya, dia bersabar dan hal itu merupakan kebaikan baginya.”[1]
Sabar adalah itu aktif, ia ada karena diniatkan dan dikerjakan, jadi sabar bukan orang yang berdiam diri dalam suatu keadaan. Dalam Islam sabar adalah upaya yang dilakukan sesorang, sebuah amalan untuk mendapatkan atau mencari ridho Allah. Dalam QS. Al Kahfi 18: 28, Allah swt berfirman: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” Ayat ini menegaskan bahwa seseorang yang dalam perjalanan meraih ridho Allah itu, ia harus menisbatkan dirinya menjadi bagian dari orang-orang yang ‘yad’una rabbahum’ menyeru, berdoa dan beribadah kepada Tuhannya, maka ia harus sabar dalam perjalanan itu. Artinya harus bertahan berjamaah bersama dengan mereka apapun tantangannya. Allah mengingatkan bahwa godaan dunia bisa memalingkan hati karena barangkali jalan keimanan tidak selalu menjanjikan kemakmuran duniawi, juga bisa menjadikan lupa dari mngingat Allah Ta’ala.
Berlaku sabar itu memang berat, sehingga pantaslah jika Allah menjanjikan pahala yang tak terbatas, sesuai dengan derajat kesabaran seseorang, dan hanya Allah-lah yang tahu kwalias dan kwantitas kesabaran dalam dada seorang manusia. Allah Ta’ala berfirman: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu." Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (Az-Zumar (39): 10).
Tentang kesabaran ini Allah berfirman: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al Baqaah (2): 155-157). Ayat tersebut berfirman ‘walanabluwannakum’ artinya kami akan memberikan ujian atau cobaan, sehingga ujian itu adalah sebuah alat ukur untuk bisa memberikan penilaian terhadap sesuatu hal. Inilah parameter kesabaran yang hendak dinilai oleh Allah, maka semua harus melewati ujian. Kesabaran pasti diuji.
Selanjutnya, Allah juga menjelaskan tentang sumber ujian yaitu dalam Surat Ali Imran (3): 186: Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.
Ujian itu bisa berasal dari:
- internal dirinya, yaitu berupa amwalukum wa anfusukum (hartamu dan jiwamu).
- External, yaitu gangguan dari ahli kitab dan orang-orang musyrik yang mnyakitkan hati (wa latasma’unna minnalladzina utul kitaba min qoblikum wa minnalladzina asyroku adzan katsiro).
Dari ujian ujian tersebut maka akan terseleksilah diantara manusia siapa yang layak disebut pengikut para rasul dan bagian dari jamaah kaum mukminin, Allah ta’ala berfirman:Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 146). Maka pengikut para nabi ‘wamaa hanu lima ashobahum fii sabilillah’ –dan mereka tidak menjadi lemah karena ujian yang menimpa- inilah kualitas para generasi robbani, pengikut dan penerus para nabi. Mereka kuat menempuh segala rintangan untuk senantiasa berjalan di jalan Allah.

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG KESABARAN

  1. Memahami bahwa konsekuensi hidup adalah susah payah.
    Allah ta’ala berfirman dalam QS. Al Balad (10): 4, : Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. Banyak orang yang merasa berat menempuh ujian hidup, menanggung susah payahnya menghadapi persoalan hidup, padahal Allah sudah menegaskan bahwa susah payah adalah bagian dari hidup itu sendiri, sebuah konsekuensi bagi setiap manusia. Susah payah juga menjadi kendala manusia untuk sabar menempuh jalan yang lurus, mereka beranggapan, berjalan dengan kebenaran itu menyusahkan sehingga mereka berpaling menuju kesesatan dengan alas an –menghindari susah payah, atau mereka meninggalkan perintah Allah dengan harapan akan mengerjakan jika hidup tidak lagi susah payah. Maka sadarilah susah payah dalam hidup adalah sebuah keniscayaan dan tidak ada manusia yang hidup tidak menanggung susah payah, tentu dengan ragamnya masing-masing.
  2. Menyadari bahwa segala sesuatu adalah milik Allah.
    Seringkali manusia begitu bersedih ketika apa yang sedang dinikmatinya, berupa harta benda, kesenangan, kemudahan, kesempatan atau kesehatan terlepas dari genggamannya. Ia merasa begitu terpukul dan seperti menerima bencana yang amat berat. Ini terjadi karena terlalu besarnya rasa memiliki, ia tidak sadar bahwa semua itu hanyakah titipan dari Allah semata. Allah Ta’ala berfirman: Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. (QS. 16: 53).
  3. Pengharapan akan memperoleh pahala yang tidak terbatas, sebagaimana telah Allah janjikan dalam firman-Nya: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu."Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS. Az-Zumar (39): 10).
  4. Keyakinan bahwa dalam setiap kesulitan itu bersamaan pula ada kemudahaan.
    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Surat Al Insyiroah: 5-6).
  5. Keyakinan terhadap Qodho dan Qodar sehingga segala yang menimpa tidak lain hanyalah karena kehendak-Nya.
    Allah ta’ala berfirman: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (QS. Al Hadid (57): 22).
  6. HAMBATAN-HAMBATAN DALAM BERLAKU SABAR

    1. Sikap tergesa-gesa.
      Allah berfirman: "Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera. (Al Anbya (21): 37). Nabi SAW juga bersabda:“Tergesa-gesa adalah termasuk perbuatan setan,” (HR Tirmidzi). Dalam hadits yang lain Rasulullah juga bersabda: “Bukan akhlak seorang mukmin berbicara dengan lidah yang tidak sesuai kandungan hatinya. Ketenangan (sabar dan berhati-hati) adalah dari Allah dan tergesa-gesa (terburu-buru) adalah dari setan.” (HR. Asysyihaab).
      Jangankan dalam hal duniawi yang hukumnya mubah, untuk urusan akherat dan ibadah mahdhah saja, Rasulullah melarang kita untuk tergesa-gesa: Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila kamu mendengar iqamah, maka pergilah shalat (berjamaah). Hendaklah kamu bersikap tenang dan tenteram, jangan tergesa-gesa. Apa yang kamu dapati, shalatlah kamu bersama mereka; dan apa yang terlewatkan (ketinggalan), maka sempurnakanlah.” [HR Bukhari]. Bahkan saat makan pun tidak boleh terburu-buru:Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Apabila telah dihidangkan makan malam, maka mulailah sebelum kamu shalat magrib. Janganlah kamu tergesa-gesa terhadap makan malammu.” [HR Bukhari] Ibnu Umar berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Apabila makan malam telah dihidangkan dan iqamah untuk shalat telah diucapkan, maka dahulukanlah makan malam dan jangan terburu-buru hingga kamu selesai makan.” (Dan dalam satu riwayat: hingga ia menyelesaikan keperluannya). [HR Bukhari]
      Dalam membaca Al Qur’an juga tidak boleh tergesa-gesa. “Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” [Thaahaa 114].
      Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Asyyaj Abdil Qais: “Sesungguhnya di dalam dirimu ada dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan berhati-hati.” (HR. Muslim no. 5225) Tergesa-gesa adalah sifat yang meniadakan kehati-hatian, dan meninggalkan kehati-hatian sama saja meninggalkan kesabaran. Ketergesa-gesaan akan menggelincirkan seseorang dari jalan kebenaran dan keselamatan, sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:
      Dan seorang penyair telah berkata: “Betapa seringnya orang yang berhati-hati mendapatkan apa yang dia butuhkan, dan betapa seringnya orang yang tergesa-gesa itu tergelincir.”
    2. Marah.
      Walaupun marah adalah salah satu fitrah manusiawi pemberian sang Khalik, namun Allah SWT dan Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk menahan marah. Al Jurjani berkata: Marah adalah perubahan yang terjadi saat darah yang ada di dalam hati bergejolak sehingga menimbulkan kepuasan di dalam dada. Marah adalah gejolak yang timbulkan oleh setan. dia mengakibatkan berbagai bencana dan malapetaka yang tak seorangpun mengetahuinya melainkan Allah Subhanhu Wa Ta’ala. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu anhu Bahwa seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Berilah aku wasiat beliau berkata: “Janganlah marah” Beliau mengulangi wasiat itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Janganlah marah”. [HR. Bukhari]
      “Janganlah marah maka bagimu adalah surga“. [Hadits shahih]. Kemarahan menghilangkan kesabaran sebagaimana terjadi pada Nabi Yunus ketika marah terhadap kaumnya yang menolak dakwahnya, ketidaksabarannya berujung pada kemarahan, Ia meninggalkan kaumnya sehingga justru ia ditelan ikan Nun. Allah mencatatnya dalam al Qur’an: Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya) (QS. Al Qolam (64): 48).
      Nabi bahkan mengatakan bahwa menahan kemarahan itu bisa menjadi jalan dalam meraih surga: Di zaman Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam ada seorang lelaki yang datang menemui Beliau dan mengatakan,“Wahai Rosululloh, ajarkanlah kepada saya sebuah ilmu yang bisa mendekatkan saya ke surga dan menjauhkan dari neraka.” Maka beliau sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan tumpahkan kemarahanmu. Niscaya surga akan kau dapatkan.” (HR. Thobrani, Shohih)
    3. Putus Asa
      Ketika Yakub kehilangan Yusuf anak tercintanya yang dibuang kedalam sumur oleh saudara-saudaranya, ia berkata: "Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (QS, Yusuf (12): 87).
    4. KAPAN SABAR MENJADI PENTING

      ADA saat tertentu dimana kesabaran harus senantiasa ada dalam hati kita, tanpa keabaran maka bukan hanya kegagalan yang kita peroleh tapi juga peringatan bahkan azab dari Allah Ta’ala. Kesabaran mutlak diperlukan dalam hal:
      1. Berdakwah
        Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,: “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.” Nuh berkata: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. (QS. Nuh (71): 5-7).
        Nabi Nuh telah berdakwah kurang lebih 950 tahun, tetapi pengikut beliau tidak lebih dari 70 orang. Nabi Nuh juga mengadukan perihal qaumnya ini dalam ayat diatas, bahwa setiap kali beliau mendakwahi qaumnya, seruan dakwahnya justru semakin menjadikan mereka jauh dari kebenaran bahkan lari dari kebenaran. Maka andaikata dakwah tidak disertai dengan kesabaran maka akan banyak orang lari dari beban dakwah itu. Allah pernah pernah menghukum Nabi Yunus karena ketidak sabarannya dalam berdakwah: Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya) (QS. Al Qolam (68): 48).
        Yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah Nabi Yunus, ia ditelan ikan Nun setelah meninggalkan kaumnya karena marah kepada kaumnya yang tidak merespon dakwah beliau. Hambatan dan ancaman dalam dakwah juga dialami Rasulullah saw terutama setelah wafatnya paman beliau Abu Thlib. Setelah Abu Thalib wafat, kaum kafir pun makin leluasa dan semakin menjadi-jadi dalam usahanya menghentikan dakwah Rasulullah. Tidak hanya cacian, makian bahkan penganiayaan fisik dan rencan pembunuhan dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah SAW.
        Allah berfirman:“Bersabarlah (Hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”(Q.S. An-Nahl: 127). Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila disakiti ketika beliau mendakwahi kaumnya, beliau meneladani Nabi Musa as dengan mengucapkan, “Semoga Allah merahmati Musa. Sungguh beliau telah disakiti (oleh kaumnya) dengan (musibah) yang lebih daripada (ujian yang saya alami ini), namun beliau dapat bersabar.”
        Ketika Rasulullah dilepari batu ketika berdakwah di Thaif, beliau berdoa: “Ya Allah ampunilah kaumku, karena sungguh mereka tidak mengetahui.” Inilah teladan-teladan keabaran dalam berdakwah, yang telah dicontohkan oleh semua nabi dan Rasul serta para pengikut-pengikutnya.
      2. Sabar dalam Peperangan Sudah kita maklumi bersama: jihad adalah amalan tertinggi dalam islam. Tidak ada satupun amal yang mampu menyamainya. Keutamaannya terlalu agung sehingga setiap pelakunya yang ikhlas dipastikan masuk surga. Tidak ada yang aneh dengan persamaan ini bagi kita. Tentu saja: jihad berarti berkorban apa yang paling manusia biasanya tak ingin korbankan, yakni “kehidupan”. Bahwa jihad berarti mempersembahkan nyawa untuk Allah semata. Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, “Kedua kaki hamba-Ku yang dilibat debu dalam perang fi sabilillah tidak akan tersentuh api neraka. ”(HR. Bukhari).
        “Tidaklah sama antara, mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahal yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. an-Nisa [4]:95-96).
        Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat: Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat: Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123).
        Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Rasulullah bersabda : Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian berangan-angan untuk menghadapi musuh. Namun jika kalian sudah menghadapinya maka bersabarlah (untuk menghadapinya).” HR. Muslim.
      3. Sabar dalam Beramal Shaleh
      4. Sabar dalam Menghadapi Kehidupan Dunia
      5. Khauf

No comments:

Kepemimpinan dalam Islam

Kepemimpinan Kepemimpinan dalam berfungsi untuk mengkoordinasikan, memimpin dan mengatur setiap pelaksanaan syariat. Ada beberapa istilah ...