Allahpun
menurunkan firman-Nya:
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh
Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”(Al-Maidah: 44)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Demi Allah, untuk mereka
turun ayat ini dan mereka yang dimaksud oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” Dan
dalam riwayat Thawus, ibnu Abbas berkata,”Sesungguhnya ia bukan kufur seperti
yang mereka (kaum khawarij) fahami, ia kufur yang tidak mengeluarkan dari
millah, kufur dibawah kufur.”[HR Al Hakim dalam mustadrak no 3219 tahqiq Abdul
Qadir ‘Atha, Al Hakim berkata “Shahih” dan sesuai dengan syarat Bukhari
dan Muslim]
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dengan sanad yang
shahih dari Ibnu Abbas beliau berkata:“Dengannya (perbuatan itu) adalah
kekafiran, namun bukan kafir terhadap Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan para Rasul-Nya.”
Dalam riwayat lain beliau berkata: “Bukan (yang
dimaksud) adalah kekufuran yang mereka (KHAWARIJ) inginkan. Sesungguhnya (ayat
ini) bukan kekufuran yang mengeluarkan dari agama, (namun) kufrun duna kufrin
(kekufuran di bawah kekufuran, yaitu tidak mengeluarkan dari Islam).” (Dikeluarkan
oleh Al-Hakim )
Tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah akan mengakibatkan
kekafiran. Memang demikian salah bunyi ayat Allah di dalam surat Al-Maidah ayat
44.
Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir. (Al-Maidah: 44)
Namun apakah setiap orang yang tidak menjalankan hukum potong
tangan, rajam, cambuk dan sejenisnya, otomatis agamanya berubah dari Islam
menjadi kafir? Apakah kita semua yang tinggal di Indonesia yang notabene tidak
menjalankan hukum-hukum itu otomatis dianggap bukan muslim?
Gegabah dalam memvonis sebagai negara kafir seringkali membawa
sikap yang merugikan islam, sehingga konskwensinya adalah munculnya
pemberontakan dan huru hara, dan yang menjadi korban adalah rakyat jelata yang
tak berdosa.
Ketahuilah saudaraku, berhukum dengan selain hukum islam adalah dosa
besar yang mendatangkan kemurkaan Allah dan adzabnya, namun tidak setiap yang
berhukum dengan hukum selain islam itu dikafirkan kecuali apabila disertai
istihlal (meyakini bahwa Allah menghalalkan berhukum dengan selain hukum islam)
atau juchud (mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Allah), atau ‘ienad
(menentang disertai dengan sombong dan melecehkan).
Adapun apabila ia berhukum dengan selain hukum islam dalam keadaan
ia meyakini haramnya perbuatan tersebut tidak dikafirkan.
Tentunya kita perlu mengkaji ayat ini lebih dalam lagi. Bukan
dengan semata logika bahasa dan pemahaman yang lebih mendalam. Apalagi kalau
kita lihat asbabun-nuzulnya, maka sesungguhnya ayat ini turun dalam konteks
memberi vonis kepada pemeluk agama samawi lainnya, baik yahudi mau pun nasrani.
Dan nyatanya oleh banyak ulama, makna dan pengertian ayat ini
dikomentari dengan pendapat yang berbeda. Mari kita buka kitab-kitab tafsir
yang muktabar. Di sana kita akan dapati beragam komentar, antara lain:
- Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas ra berkata
ketika menjawab status kafir bagi orang yang tidak berhukum dengan hukum
Allah, sesuaiayat ini, “Kufur yang bukan seperi kufur kepada Allah dan
hari akhir.”
- Dalam lain riwayat disebutkan bahwa Ibnu
Abbas berkomentar tentang ayat ini bahwa ada dua hukum yang dikandungnya.
Pertama, siapa yang mengingkari kewajiban untuk menjalankan hukum Allah,
maka dia kafir. Sedangkan siapa yang tidak mengingkarinya, hanya sekedar
tidak mengerjakannya, maka dia fasik dan zhalim.”
- Ibrahim An-Nakhai sebagaimana diriwayatkan
oleh At-Thabari mengatakan bahwa ayat ini turun buat Bani Israil dan Allah
merelakannya untuk umat ini untuk menggunakan hukum itu.
- Al-Hasan mengataan bahwa hukum-hukum Allah
itu turun untukYahudi namun buat kita hukumnya wajib.
- Thawus berkata, “Kufur yang dimaksud
bukanlah kufur yang meninggalkan millah (agama).”
- Atho’ berkomentar tentang maksud kata
‘kufur’ dalam ayat ini, “Kufur yang bukan kekufuran.”
Dan masih banyak lagi silang pendapat tentang pengertian ayat ini.
Semuanya benar dan kita mudah saja untuk menarik kesimpulan secara umum.
Pertama, ayat ini memang turun kepada Bani Israil (yahudi), namun
ketentuannya berlaku secara umum termasuk umat Islam.
Kedua, sesuai dengan fatwa Ibnu Abbas, kita tidak bisa main vonis
bahwa siapa saja yang tinggal di negeri yang tidak menjalankan hukum Islam.
Sebab sangat boleh jadi banyak dari umat Islam yang tetap menginginkan
dijalankannya hukum Islam, namun ternyata penguasa tidak mau menjalankannya.
Entah karena pemerintahnya bukan muslim, atau muslim tapi tidak paham. Intinya,
kelompok kedua ini tidak JUHUD (tidak ingkar) terhadap hukum Allah dan tidak
istihlal (tidak menghalalkan) hukum thaghut jahiliyah. Kategori ini masih
dianggap fasik atau zalim
Ketiga, hukum kafir bisa dijatuhkan kepada para penanggung-jawab
sebuah negeri, baik lembaga yudikatif, legislatifmau pun eksekutif, apabila secara
nyata mereka menolak penerapan seluruh hukum Islam dengan mengi’tikadkan JUHUD
(pengingkaran) terhadap hukum Allah SWT ataupun dia mengistihlalkan
(menghalalkan hukum thaghut jahiliyah). Padahal kesempatan sudah terbuka
lebar untuk menerapkan hukum Islam. artinya (ia kafir) karena meyakini (tidak
wajibnya) dan menganggapnya halal, adapun orang yang tidak berhukum (dengan
hukum Allah) sementara ia meyakini bahwa dirinya telah melakukan keharaman maka
ia termasuk muslimyang fasiq, dan urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala,
jika berkehendak Allah akan adzab dan jika tidak Allah akan ampuni.
Barang siapa yang berhukum dengannya (yaitu undang-undang buatan
manusia) dengan keyakinan bolehnya berbuat itu maka ia kafir keluar dari
millah, dan jika ia melakukan itu dengan tanpa keyakinan tadi maka ia kafir
kufur amali yang tidak mengeluarkannya dari millah.
Al Qurthubi berkata,” ibnu Mas’ud dan Al Hasan berkata,” ayat ini
umum untuk setiap orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan
yaitu yang meyakini (tidak wajibnya) dan menganggap halal (berhukum dengan
selain hukum Allah).”[Al jami’ liahkamil qur’an 6/190.]
Maksud pembahasan ini adalah bahwa yang dimaksud ayat-ayat ini
adalah ahli kufur dan ‘ienad, dan ayat tersebut walaupun lafadznya berbentuk
umum, namun keluar darinya kaum muslimin, karena meninggalkan berhukum disertai
keimanan kepada asal hukumnya adalah dibawah kesyirikan, sedangkan Allah
berfirman :
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ
ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ.
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni untuk dipersekutukan dan
mengampuni dosa yang lebih rendah dari syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.”
(An Nisaa : 48).
Dan meninggalkan berhukum dengan (hukum Allah) tidak termasuk
syirik dengan kesepakatan ulama, dan bisa diampuni, sedangkan kufur itu
tidak bisa diampuni (jika ia mati diatasnya), sehingga meninggalkan berhukum
itu bukan kufur (yang mengeluarkan pelakunya dari islam).
Namun dalam hal ini, sebelum vonis kafir dikeluarkan, harus ada
upaya untuk mempresentasikan hukum-hukum Islam secara terbuka, adil dan
objektif kepada mereka. Hingga mereka tahu apa manfaat positif dari hukum Islam
itu.
Jangan sampai kita menjatuhkan vonis kepada orang yang tidak tahu
permasalahan. Dan untuk mempresentasikannya, memang dibutuhkan waktu, tenaga,
metode, pendekatan, diplomasi, sinergi, dan juga energi yang panjang. Tidak
boleh setengah-setengah dan kurang tenaga.
Maka bila semua pesan sudah tersampaikan, semua ajakan telah
diterima dengan jelas, sejelas matahari bersinar di siang cerah, bolehlah vonis
kafir itu dijatuhkan kepada penguasa yang zalim dan menolak mentah-mentah
syariah Islam secara 100 persen. Itu pun harus diawali dengan syura umat Islam
dari seluruh penjuru negeri.
Adapun pemerintahan yang masih dijabat oleh banyak umat Islam, di
mana mereka masih dalam proses untuk melakukan Islamisasi baik lewat jalur
internal maupun eksternal, tidak pada tempatnya bila langsung divonis kafir.
Sebab semua masih dalam proses, harus ada space untuk sebuah proses.
No comments:
Post a Comment