Dalam lanskap pemikiran hari ini, kita menyaksikan dua kutub ekstrem yang sering bersuara keras: kaum agamis tekstual dan kaum yang mengaku ateis namun merasa paling ilmiah. Keduanya sama-sama terjebak dalam 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘪𝘧𝘢𝘯, meski dengan bentuk dan cara yang berbeda. Kaum agamis terlalu tergesa mengklaim kebenaran wahyu tanpa memahami realitas, sementara kaum ateis terlalu cepat menutup kemungkinan transenden karena merasa cukup dengan sains. Dua-duanya gagal melihat luasnya realitas dan keterbatasan manusia.
1. Kenaifan Kaum Agamis Tekstual
Kaum ini memegang teks suci secara harfiah tanpa memahami konteks, metode tafsir, atau prinsip kausalitas (asbab). Contoh lucunya, ada dari mereka menolak percaya pada prakiraan cuaca BMKG, dan menyebutkan itu sebagai kesyirikan, karena seolah-olah “mendahului kehendak Tuhan.” Bagi mereka, menyatakan bahwa hujan bisa diprediksi berarti menyaingi Tuhan.
Padahal, para ilmuwan hanya mempelajari pola-pola alam berdasarkan hukum yang ditetapkan Tuhan sendiri (sunnatullah). Bahwa ada qadar dan khasiat dari sesuatu yang bisa dimanfaatkan manusia dengan akalnya untuk direkayasa agar bermanfaat.
Alih-alih memposisikan Tuhan sebagai Sang Maha Berkehendak, malah justru Tuhan digambarkan seolah-olah bertindak spontan dan reaktif, bukan sebagai Zat Mahabijaksana yang telah menciptakan sistem dan hukum yang tetap.
Imam Al-Ghazali pernah mengkritik kaum yang menafikan sebab-akibat secara total. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia tidak menolak sebab-akibat, tapi menekankan bahwa sebab tidak memiliki daya sendiri kecuali karena izin Tuhan. Artinya, Tuhan tetap Maha Kuasa, namun hukum-hukum alam adalah sarana (asbab) yang digunakan-Nya dalam mengatur dunia.
Bahkan Al-Qur’an sendiri berulang kali menyebutkan hujan, angin, dan awan dalam bahasa kausalitas:
"Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan)...” (QS. Al-A’raf: 57)
Ayat ini menunjukkan mekanisme alam yang Tuhan ciptakan dan kelola, bukan aksi reaktif yang tiba-tiba tanpa keteraturan.
2. Kenaifan Kaum Ateis yang Sok Ilmiah
Di sisi lain, sebagian orang yang mengklaim diri sebagai ateis merasa bahwa sains telah menjelaskan segalanya, dan karena itu tidak perlu lagi konsep Tuhan. Mereka menyatakan bahwa alam semesta terjadi begitu saja, tanpa sebab.
Ini adalah bentuk kenaifan intelektual karena justru melanggar prinsip sains itu sendiri, yaitu bahwa setiap gejala harus punya sebab dan penjelasan. David Hume, sekalipun skeptis terhadap sebab-akibat, tetap menyadari bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa asumsi kausalitas. Bahkan Stephen Hawking, meski cenderung ateistik, tetap menyusun teori asal-usul alam dalam kerangka hukum fisika—yang tentu saja adalah bentuk pengakuan bahwa alam tunduk pada keteraturan.
Mengatakan “alam terjadi begitu saja” tanpa sebab, sejatinya bukan kesimpulan ilmiah, melainkan keyakinan metafisik yang tak terbukti. Filsuf kontemporer seperti William Lane Craig melalui Kalam Cosmological Argument, menegaskan bahwa:“
"Segala yang memiliki awal pasti memiliki sebab. Alam semesta memiliki awal, maka ia pasti memiliki sebab.”
3. Kedewasaan Intelektual: Melepaskan Kenaifan
Iman bukanlah kebodohan, dan sains bukanlah musuh spiritualitas. Namun baik iman maupun sains bisa berubah menjadi sumber arogansi dan kenaifan, jika tidak disertai keterbukaan, refleksi, dan kesadaran akan batas manusia.
Imam Malik pernah berkata, “Barangsiapa beragama tanpa ilmu, maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.”
Dan filsuf Karl Popper menyatakan, “Semakin banyak kita tahu, semakin kita sadar bahwa kita tidak tahu.”
Kedewasaan berpikir adalah ketika kita mengakui bahwa teks tidak berdiri sendiri tanpa konteks, dan bahwa sains tidak menjangkau seluruh dimensi eksistensi. Tuhan tidak dibatasi oleh hukum alam, tapi justru hukum itu adalah manifestasi kebijaksanaan-Nya, bukan pengganti-Nya.
Melawan Kenaifan
Yang perlu kita lawan bukan iman atau sains, tapi kenaifan—baik yang berbaju religius maupun yang berselimut saintisme. Iman sejati akan terbuka pada ilmu, dan ilmu sejati akan merunduk dalam kerendahan hati. Di situlah letak kebijaksanaan: tidak menafikan, tapi menyatukan; tidak membenturkan, tapi menyelami.
No comments:
Post a Comment