6/22/2025

JAS MERAH dan JAS HIJAU: Menyusun Ulang Memori Sejarah Bangsa



"Jas Merah", singkatan dari “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”, merupakan slogan yang disampaikan oleh Ir. Soekarno dalam pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1966. Slogan ini merupakan ajakan kepada bangsa Indonesia untuk tidak terputus dari akar sejarah, tidak melupakan perjalanan panjang kemerdekaan, serta menghargai jasa para pejuang bangsa. Namun dalam praktiknya, slogan ini lebih sering diklaim dan diangkat oleh kelompok nasionalis, terutama yang berideologi Sukarnoisme.

Hal ini bisa dimaklumi. Kedekatan emosional dan ideologis kelompok nasionalis terhadap figur Bung Karno membuat mereka merasa paling berhak mengangkat dan mewarisi semangat Jas Merah. Secara politik dan simbolik, slogan ini menjadi penguatan narasi bahwa nasionalislah yang paling berjasa dalam perjuangan dan pembentukan bangsa. Tak jarang muncul kesan bahwa merekalah yang dimaksud Bung Karno sebagai pelaku utama sejarah yang tak boleh dilupakan.

Namun, pemaknaan sempit terhadap sejarah seperti ini rawan mengikis keutuhan narasi kebangsaan. Sebab, sejarah kemerdekaan Indonesia bukan hanya dibentuk oleh satu golongan atau satu ideologi, melainkan merupakan hasil perjuangan kolektif seluruh elemen bangsa: nasionalis, Islamis, sosialis, hingga kekuatan lokal dan adat.

Ulama dan Umat Islam: Pilar Sejarah yang Terlupakan

Salah satu pilar penting yang kerap terpinggirkan dalam narasi besar sejarah nasional adalah peran umat Islam dan para ulama. Padahal, kontribusi mereka nyata, massif, dan berlangsung jauh sebelum munculnya organisasi-organisasi nasionalis sekuler.

1. Jejak Ulama dalam Perlawanan Terhadap Kolonialisme
Para ulama sejak abad ke-17 telah menjadi garda terdepan dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Tokoh seperti Sultan Agung, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, dan Teuku Umar merupakan pemimpin yang menggabungkan semangat jihad dan nasionalisme. Bahkan Perang Diponegoro (1825–1830) yang disebut sejarawan Peter Carey sebagai "perang terbesar melawan kolonialisme di Asia abad ke-19", dipimpin oleh seorang bangsawan yang sangat dekat dengan kalangan ulama dan pesantren.

2. Gerakan Islam Modernis dan Tradisionalis
Organisasi seperti Syarikat Islam (1912)—yang awalnya bernama Syarikat Dagang Islam—merupakan kekuatan politik awal umat Islam melawan kolonialisme dengan pendekatan ekonomi dan sosial. Kemudian muncul Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926) yang memainkan peran penting dalam penguatan akar sosial masyarakat dan penyadaran nasionalisme berbasis Islam.

3. Peran Ulama dalam Perumusan Kemerdekaan
Dalam momen-momen genting menjelang dan sesudah kemerdekaan, para ulama berada dalam barisan depan. KH Wahid Hasyim, KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, dan Mohammad Natsir adalah contoh tokoh-tokoh Islam yang aktif di parlemen, perumusan konstitusi, hingga pembentukan NKRI. Bahkan Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 menjadi landasan moral dan hukum bagi meletusnya perlawanan 10 November di Surabaya—yang kini dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Jas Hijau: Jangan Sekali-kali Menghilangkan Jasa Ulama

Maka lahirlah gagasan slogan tandingan yang komplementer terhadap Jas Merah, yaitu:

“JAS HIJAU” – Jangan Sekali-kali Menghilangkan Jasa Ulama.

Slogan ini bukan untuk mengadu domba antar golongan, tapi untuk melengkapi narasi sejarah nasional yang utuh dan adil. JAS HIJAU adalah pengingat bahwa perjuangan kemerdekaan bukan sekadar perjuangan politik, tetapi juga perjuangan spiritual, moral, dan sosial yang dipelopori oleh para ulama dan umat Islam.

Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara, dalam bukunya Api Sejarah, menjelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak mungkin terjadi tanpa peran umat Islam dan jaringan pesantren. Ia bahkan menyebut adanya “penyembunyian sejarah” yang cenderung meminggirkan tokoh-tokoh Islam demi narasi tunggal sekuler-nasionalis.

Kesimpulan: Sejarah Milik Bersama

JAS MERAH dan JAS HIJAU harus berjalan beriringan. Yang satu mengingatkan kita untuk tidak melupakan sejarah bangsa secara umum. Yang lain memperjuangkan agar jasa ulama tidak dihapus dari memori kolektif bangsa.

Bangsa Indonesia tidak akan besar jika hanya mengingat sebagian sejarah dan melupakan bagian lainnya. Keadilan sejarah adalah fondasi keadilan bangsa.


Catatan: 

JAS HIJAU adalah akronim yang disampaikan oleh Dr. Hidayat Nurwahid dalam acara Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan di Wisma Mahdhiyyin Bandung, di tengah acara Majelis Tahkim Luar Biasa Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tanggal 21-22 Juni 2025.


Referensi:

  • Soekarno, Pidato 17 Agustus 1966: “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

  • Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855.

  • Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid 1 & 2.

  • Greg Barton, The Authorized Biography of Nurcholish Madjid (tentang hubungan Islam dan nasionalisme).

  • Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara.

Baca juga:

No comments:

Dampak Makanan Haram terhadap Manusia Perspektif Al-Qur’an, Hadis, Ulama, dan Ilmu Pengetahuan

🌐    1. Makanan dalam Pandangan Islam Islam memandang makanan sebagai sumber kekuatan fisik dan rohani . Makanan yang halal dan baik (...