6/17/2025

Kritik yang Dibalas Stigma

 


Fenomena—di mana kritik terhadap pemerintah dibalas dengan serangan terhadap pribadi pengkritik, bukan substansi kritik—dapat dijelaskan dengan berbagai pendekatan dalam ilmu sosial dan politik, terutama dalam kerangka psikologi politik, teori komunikasi, dan analisis kekuasaan.


1. Teori Delegitimasi (Delegitimization Theory)

Dalam ilmu sosial, delegitimasi adalah strategi untuk melemahkan posisi lawan dengan menyerang kredibilitasnya, bukan argumennya. Ketika seseorang mengkritik pemerintah, kekuasaan (atau pendukungnya) bisa merasa terancam, sehingga merespons dengan labelling: "barisan sakit hati", "anak abah", "orang kalah", dsb. Ini bertujuan untuk:

  • Mengalihkan perhatian dari isi kritik ke motif pribadi si pengkritik.

  • Membingkai kritik sebagai ekspresi dendam atau ambisi politik pribadi, bukan kepedulian terhadap publik.

📚 Referensi:

  • Bar-Tal, Daniel. Group Beliefs: A Conception for Analyzing Group Structure, Processes, and Behavior (2000).

  • Tajfel, Henri & Turner, John C. (1986). The Social Identity Theory of Intergroup Behavior.


2. Ad Hominem dan Strategi Komunikasi Politik

Dalam retorika dan teori komunikasi, serangan terhadap pribadi dikenal sebagai fallacy ad hominem. Ini adalah logical fallacy yang umum digunakan dalam politik populis.

Alih-alih menjawab kritik secara rasional, politisi (atau buzzer politik) justru:

  • Menyerang latar belakang pengkritik (misalnya mantan pejabat, aktivis, atau oposan lama).

  • Menstigmatisasi dengan asosiasi negatif agar publik tak percaya pada kritik tersebut.

Ini sering dipakai dalam politik identitas dan politik populis, di mana kebenaran bukan diukur dari argumen, tapi dari siapa yang bicara.

📚 Referensi:

  • Lakoff, George (2004). Don’t Think of an Elephant!: Bagaimana framing dalam politik bekerja.

  • McNair, Brian (2007). An Introduction to Political Communication.


3. Politik Kekuasaan dan Perlindungan Narasi

Dalam teori politik kekuasaan (terutama dari Michel Foucault), penguasa tidak hanya memonopoli sumber daya ekonomi dan hukum, tetapi juga mengontrol narasi publik. Kritik bisa dianggap sebagai ancaman terhadap legitimasi kekuasaan, dan karena itu:

  • Diredam bukan dengan dialog, tapi dengan stigmatisasi.

  • Dibungkam dengan mengisolasi pengkritik dari simpati publik.

Ketika opini publik bisa digiring untuk percaya bahwa pengkritik punya niat jahat, maka pemerintah tidak perlu menjawab kritik itu secara substansial.

📚 Referensi:

  • Foucault, Michel (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings.

  • Chomsky, Noam & Herman, Edward S. (1988). Manufacturing Consent.


4. Fenomena Buzzer dan Mediasi Politik Digital

Di era digital, terutama di negara-negara demokrasi lemah atau semi-otoriter, pemerintah (atau pihak yang diuntungkan oleh kekuasaan) menggunakan buzzer, influencer, atau pasukan siber untuk:

  • Memonopoli opini publik di media sosial.

  • Melakukan cyberbullying atau character assassination terhadap pengkritik.

Ini disebut dalam kajian sebagai “digital authoritarianism”—di mana demokrasi secara formal tetap ada, tapi ruang kebebasan dieksploitasi untuk menekan oposisi dan kritik.

📚 Referensi:

  • Freedom House (2022). Freedom on the Net.

  • Howard, Philip N., et al. (2018). The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.


Kesimpulan

Fenomena serangan terhadap pribadi pengkritik alih-alih menjawab substansi kritik mencerminkan beberapa kondisi sosial-politik:

  1. Ketidakmampuan atau ketidakmauan menghadapi kritik secara intelektual.

  2. Upaya mempertahankan narasi kekuasaan dengan membungkam suara berbeda.

  3. Politik populis yang menggiring persepsi bahwa hanya “orang baik” yang boleh bersuara, dan kritik = dendam.

  4. Polarisasi masyarakat dan pembentukan echo chamber digital, yang membuat rasionalitas tersisih oleh loyalitas.

Dalam masyarakat demokratis yang sehat, kritik adalah bentuk partisipasi warga negara. Ketika kritik dibalas dengan stigmatisasi, itu tanda adanya regresi demokrasi dan dominasi politik identitas.

No comments:

Kritik yang Dibalas Stigma

  Fenomena—di mana kritik terhadap pemerintah dibalas dengan serangan terhadap pribadi pengkritik, bukan substansi kritik—dapat dijelaskan d...