6/16/2025

Paradoks Demokrasi dan Pandangan Islam terhadap Kekuasaan Rakyat


Pendahuluan

Demokrasi, secara konseptual, adalah sistem politik yang menyandarkan kedaulatan pada rakyat. Di dalamnya, suara mayoritas dianggap sebagai pilar utama dalam menentukan keputusan publik. Namun, dalam praktiknya, demokrasi sering kali menunjukkan paradoks yang mendalam. Mayoritas yang secara statistik mendominasi sistem ini kerap berasal dari kalangan subordinat — kelompok masyarakat yang lemah secara ekonomi, pendidikan, dan kekuasaan. Mereka bukan hanya rentan terhadap manipulasi, tetapi juga kerap dijadikan alat oleh elit yang lebih kuat. Maka, yang tampil bukanlah kedaulatan rakyat secara utuh, melainkan rekayasa atas kehendak rakyat oleh kekuatan yang lebih besar.

Paradoks Demokrasi: Kedaulatan dalam Manipulasi

Dalam teori politik modern, terutama yang dikembangkan oleh para pemikir liberal seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau, demokrasi dijanjikan sebagai sistem partisipatif di mana rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Namun, sebagaimana dikritik oleh filsuf kontemporer seperti Noam Chomsky dan Sheldon Wolin, demokrasi dalam praktik sering dikendalikan oleh kekuatan ekonomi dan media massa yang membentuk opini publik sesuai kepentingannya.

Mayoritas yang menjadi penentu keputusan justru mudah dimobilisasi dengan narasi dan imajinasi yang dibentuk oleh elit. Dalam konsep "manufacturing consent" (membentuk persetujuan) yang digagas Chomsky, rakyat seolah-olah memilih secara bebas, padahal mereka diarahkan secara sistematis. Maka, demokrasi berubah menjadi oligarki terselubung.

Islam dan Kritik terhadap Mayoritas

Islam sebagai sistem nilai dan pandangan hidup tidak menafikan pentingnya musyawarah atau keterlibatan umat dalam urusan publik. Namun, Al-Qur’an bersikap kritis terhadap pengultusan suara mayoritas. Dalam QS. Al-An'am: 116, Allah berfirman:

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta."

Ayat ini menunjukkan bahwa mayoritas bukanlah ukuran kebenaran. Dalam sejarah para nabi, mayoritas umat justru menolak kebenaran dan lebih memilih jalan yang menyimpang. Hal ini menunjukkan bahwa kuantitas tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas atau kebenaran.

Selain itu, dalam QS. An-Nahl: 43, Allah memerintahkan:

"Fas'alu ahla al-dzikri in kuntum la ta'lamun"
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."

Ini menegaskan bahwa dalam mengambil keputusan atau memahami suatu masalah, yang harus dirujuk adalah mereka yang ahli dan kompeten, bukan suara terbanyak.

Konsep Syura dalam Islam: Kualitatif, Bukan Kuantitatif

Islam mengenal konsep syura (musyawarah), yang disebut dalam QS. Asy-Syura: 38:

"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (memenuhi) seruan Tuhan mereka dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..."

Namun, syura dalam Islam tidak identik dengan demokrasi liberal yang menuhankan suara mayoritas. Dalam syura, partisipasi rakyat dihargai, tetapi keputusan tidak semata-mata berdasarkan kuantitas suara, melainkan pada kualitas dan integritas pendapat yang diajukan, dengan melibatkan para ulama, ahli, dan pemimpin yang adil.

Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sultaniyyah menekankan bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh orang yang memenuhi syarat keilmuan, keadilan, dan kemampuan, bukan semata dipilih oleh mayoritas.

Kritik Islam Terhadap Populisme dan Mobokrasi

Demokrasi modern juga menghadapi ancaman populisme, di mana pemimpin meraih kekuasaan dengan membakar emosi massa tanpa memberikan solusi substansial. Dalam konteks ini, demokrasi menjelma menjadi mobokrasi — kekuasaan oleh massa yang tidak terdidik.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyebut bahwa kekuasaan yang diperoleh melalui dukungan massa tanpa fondasi ilmu dan akhlak akan berumur pendek dan merusak tatanan masyarakat. Baginya, kekuasaan harus dilandasi oleh ilmu, adab, dan legitimasi moral.

Islam: Sistem Epistokratik dan Etikokratis

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam lebih dekat dengan sistem epistokrasi — yaitu kekuasaan yang mempertimbangkan keahlian dan ilmu — dan etikokrasi, yaitu sistem yang dibangun atas dasar moral dan tanggung jawab di hadapan Allah. Kepemimpinan bukanlah hak semua orang, tetapi amanah yang harus dijalankan oleh yang paling layak dan bertakwa.

Sebagaimana hadis Nabi ﷺ:

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Islam: Kekuasaan diserahkan kepada ahlinya

Paradoks demokrasi menunjukkan bahwa sistem yang menuhankan suara mayoritas belum tentu menghasilkan keadilan atau kebenaran. Islam memberikan pendekatan yang lebih realistis dan berbasis nilai — bahwa kekuasaan harus diletakkan pada mereka yang ahli, jujur, dan bertanggung jawab secara moral. Al-Qur’an tidak mengajarkan kekuasaan oleh jumlah, tetapi oleh kebenaran dan integritas.

Dengan demikian, jika demokrasi terus bergantung pada manipulasi mayoritas, maka Islam menawarkan jalan alternatif: kekuasaan berdasarkan ilmu, adab, dan amanah — yang ditujukan bukan untuk kekuasaan itu sendiri, tapi untuk menegakkan kebenaran.


Ayo lanjutkan petualangan anda untuk cerdas dan berwawasan dengan terus mengikuti artikel kami. 

Baca juga:

Skeptisisme Modern, jejak lama dengan wajah baru.

Demokrasi Tanpa Nalar: Ketika Kritik Dibalas Stigma

No comments:

Urgensi Kepemimpinan dalam Islam: Antara Tuntutan Syariat dan Realitas Umat

Kematian Rasulullah SAW adalah peristiwa yang mengguncang kaum Muslimin. Namun yang menarik, para sahabat tidak langsung menguburkan jenazah...