Dalam wacana hukum Islam, sering kali kita menemui dua kutub ekstrem: satu pihak menjadikan syariat seolah sesuatu yang mengawang-awang, jauh dari realitas kehidupan manusia, sementara pihak lain justru mereduksi syariat menjadi sekadar aturan sosial tanpa dimensi transendental. Padahal, syariat Islam tidak semestinya berdiri di awang-awang tanpa pijakan, melainkan harus dibangun di atas empat fondasi utama: dalil yang kuat, nalar yang kokoh, fakta empiris, dan dasar yang saintifik. Inilah prinsip penting dalam menjaga agar produk syariat tetap otentik, relevan, dan aplikatif sepanjang zaman.
1. Dalil yang Kuat: Pondasi Tekstual
Pertama dan utama, syariat harus berpijak pada "dalil yang shahih dan jelas" dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak ada produk hukum Islam yang sah tanpa landasan nash, karena di sanalah letak otoritas wahyu. Namun demikian, tidak semua dalil bisa dipahami secara literal. Ada yang qath’i (pasti), ada yang dzanni (dugaan kuat). Oleh karena itu, pendalaman ilmu ushul fiqh menjadi kunci untuk menimbang kekuatan dalil dan memahami konteksnya.
Contoh: larangan riba dalam Al-Qur’an sangat eksplisit, namun penerapannya di zaman modern seperti pada bunga bank, transaksi obligasi, atau e-money memerlukan interpretasi mendalam yang melibatkan kaidah fiqh dan ijtihad.
2. Nalar yang Kokoh: Rasionalitas Syariat
Syariat bukanlah kumpulan aturan irasional. Islam memuliakan akal dan menjadikannya alat penting dalam memahami wahyu. Maka produk hukum syariat yang baik harus mampu diterima oleh akal sehat. Dalam Islam, tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal yang lurus. Sebaliknya, wahyu menuntun akal untuk berpikir lurus dan objektif.
Imam Ghazali menyatakan bahwa syariat dan akal itu ibarat dua sayap burung; keduanya dibutuhkan agar Islam bisa terbang tinggi namun tetap seimbang. Jika satu diabaikan, maka timbul kebutaan beragama atau kegersangan spiritual.
3. Fakta Empiris: Realitas Kehidupan
Hukum syariat tidak bisa ditegakkan secara utuh tanpa melihat realitas sosial dan kondisi manusia. Maka, maqashid al-syari’ah (tujuan syariat) menjadi instrumen penting dalam menjembatani antara nash dan realitas. Dalam proses istinbath (penggalian hukum), seorang mujtahid harus mempertimbangkan konteks lokal, adat, budaya, dan dinamika zaman.
Contoh: hukum bekerja bagi perempuan, misalnya, tidak bisa diputuskan hanya dengan memegang satu hadis atau ayat secara kaku. Diperlukan pemahaman konteks sosial, potensi maslahat dan mafsadat, serta kemampuan adaptif dalam bingkai nilai-nilai Islam.
4. Dasar yang Saintifik: Dialog dengan Ilmu Pengetahuan
Terakhir, syariat tidak boleh anti-ilmu. Justru sebaliknya, syariat harus berdialog aktif dengan sains dan teknologi. Banyak aspek ibadah dan muamalah yang kini ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Penentuan awal bulan hijriyah, pengelolaan zakat pertanian modern, hingga fatwa tentang rekayasa genetika—semuanya menuntut pemahaman saintifik yang kuat.
Tanpa keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan, syariat akan kehilangan daya hidupnya. Sementara dengan pendekatan ilmiah, produk hukum Islam akan lebih aplikatif, akurat, dan bisa menjawab tantangan zaman.
Syariat yang berasal dari Langit yang Membumi.
Syariat Islam bersumber dari langit, tetapi diturunkan untuk membumi. Ia adalah wahyu ilahi yang hadir untuk manusia dengan segala kompleksitasnya. Maka setiap produk syariat harus selalu berpijak pada dalil, dipahami dengan akal sehat, diterapkan dalam realitas, dan dikonfirmasi oleh ilmu. Dengan demikian, syariat akan menjadi cahaya yang membimbing manusia, bukan beban yang membelenggu mereka.
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu membawa kebenaran, agar engkau mengadili manusia dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu." (QS. An-Nisa: 105)
Selamat! Anda berhasil menambah wawasan dan literasi anda, teruslah membaca.
Baca juga:
Tawazun - Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat
No comments:
Post a Comment