6/24/2012

''Toleransi Beragama'' yang Ngelunjak?

Muhamad Hamka
PERNYATAAN negara-negara Barat bahwa terjadi praktik intoleransi beragama di Indonesia berlebihan. Tudingan tersebut dilontarkan oleh Austria, Norwegia, Belanda, Jerman, India dan Italia dalam sidang tinjauan periodic universal II (Universal Periodic Review-UPR) di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (Republika, 29/5).
Pernyataan negara Barat ini sangat tendensius. Karena toleransi beragama di Indonesia selama ini berjalan dengan baik. Bahwa ada riak kecil soal pembangunan gereja Yasmin di Bogor dan penyerangan Ahmadiyah oleh FPI, itu tak bisa dijadikan ukuran untuk mengatakan bahwa di Indonesia terjadi praktik intoleransi beragama.
Persoalan pendirian gereja Yasmin ini sangat kasuistis sifatnya. Hal tersebut boleh jadi karena ada alasan fundamental bagi masyarakat di sana dan masyarakat di sana pun pasti memiliki basis argumentasi yang jelas soal penolakan tersebut. Dalam konteks ini saya menduga adanya pemaksaan kehendak dari kelompok GKI Yasmin.
Persoalan kasuistis seperti ini sebetulnya tak terjadi pada kawan-kawan Kristiani saja. Di daerah-daerah yang mayoritas Kristen pun kawan-kawan Muslim mengalami kendala yang sama perihal mendirikan sarana ibadah ini. Bahkan saya pernah mengalami sendiri tentang apa yang disebut sebagai “tirani” minoritas.
Saya lahir dan besar di Naga, Desa Matawae, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Desa kami termasuk dari sedikit wilayah di NTT yang penduduknya mayoritas Islam. Namun apa yang terjadi, ditengah kemayoritasan tersebut kami justru tak berdaya.
Pasalnya, selama sekolah dasar kami tak pernah memperoleh pendidikan agama Islam. Padahal hampir 95% murid sekolah tersebut adalah anak-anak yang beragama Islam. Kenapa hal tersebut terjadi, karena ada perilaku diskriminatif dari yayasan dan guru di sekolah tersebut. Sekolah tempat kami belajar tersebut adalah Sekolah Dasar Katolik (SDK) Naga. Padahal sejak awal berdirinya pada tahun 1950-an, sekolah tersebut dinamakan sebagai Sekolah Rakyat (SR). Karena sekolah tersebut dibangun oleh seluruh rakyat Desa Matawae.
Namun dalam perjalanannya, sekolah ini berganti nama menjadi Sekolah Dasar Katolik (SDK) Naga yang dikelolah oleh Yayasan Sukma, sebuah yayasan milik Keuskupan Agung Manggarai. Proses kepemilikan sekolah oleh Yayasan Sukma tanpa sepengetahuan masyarakat, bahkan sampai hari ini belum ada penyerahan tanah sekolah oleh ulayat kepada yayasan sukma.
Praktis sejak berubah nama menjadi SDK, semua murid mendapatkan pelajaran agama Katolik untuk pelajaran agama. Pelajaran agama Islam pun sama sekali tidak diajarkan. Pernah ada orang tua murid yang mempersoalkan kebijakan tersebut, tapi tak pernah direspon oleh pihak sekolah. Bahkan soal ujian agama pada saat semester untuk murid beragama Islam di berikan soal agama Katolik.
Hal ini berlangsung sampai dengan datangnya reformasi ‘98. Semangat reformasi pun memberikan ruh baru bagi masyarakat untuk mendirikan Madrasah Ibtidaiyah. Sehingga pada tahun 2002 berdirilah Madrasah Ibtidaiyah Swasta Al. Ikhlas di Kampong Naga. Alhamdulillah sekarang anak-anak sudah fasih mengaji. Sementara pada masa kami sekolah, harus merantau ke Kota Bima-Nusa Tenggara Barat (NTB) setelah tamat SDK, baru mendapatkan pelajaran agama Islam dan belajar mengaji.
Dengan cerita di atas saya mau mengatakan, problem intoleransi beragama di Indonesia adalah persoalan yang sebetulnya bersifat kasuistis di masing-masing daerah dan pelakunya tak hanya yang beragama Islam tapi juga dilakukan oleh kawan-kawan kristiani. Jadi, tidak bisa diklaim, bahwa di Indonesia terjadi intoleransi beragama dengan menyudutkan Islam sebagai pelaku tunggal.
FPI dan toleransi ngelunjak
Perihal tindakan Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah juga tak bisa dikatakan sebagai barometer intoleransi beragama secara menyeluruh di Indonesia. Sikap keras yang digunakan oleh FPI tak bisa dijadikan ukuran sebagai indikator intoleransi beragama di Indonesia.
Kita semua tahu FPI itu adalah kelompok kecil dalam Islam Indonesia.Dia bukan ormas, hanya sebuah forum. Jumlah umat Islam di Indonesia 187 juta orang (85% dari 220 juta), FPI belum tentu 1 % nya. Tapi kadang selalu menjadi alasan pihak asing. Jauh lebih besar ormas-ormas lain seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Al Irsyad, Dewan Dak’wah, al Irsyad Al Islamiyah, Al Ittihadiyah, Mathlaul Anwar,  Al Wasliyah, Hidayatullah dan masih banyak lagi.
Jadi solusinya sebetulnya sangat sederhana. Kawan-kawan yang minoritas harus ikhlas dan secara sadar belajar menerima bahwa pihak mayoritas memiliki privilege (hak-hak istimewa) dengan kemayoritasanya, dan prinsip ini berlaku secara universal.
Di negara-negara Barat yang saya sebutkan di atas tadi, juga memperlakukan hal yang sama terhadap umat Islam. Di mana umat Islam juga mengalami perlakuan tidak istimewa dibanding yang lain (yang mayoritas). Bahkan jauh lebih diskrimatif. Substansinya, tidak boleh ada pemaksaan kehendak.
Kasus yang terbaru adalah di mana Chris Christie, Gubernur New Jersey mengeluarkan peraturan  bahwa sah hukumnya polisi New York yang memata-matai kegiatan perdagangan, masjid, dan sekolah-sekolah umat Islam di New Jersey.
Akibatanya, agen polisi New York dan mata-mata mereka disebarkan di berbagai tempat termasuk di kafe-kafe umat Islam dan tempat kegiatan keagamaan untuk mengontrol aktivitas umat Islam. Di hampir semua Negara Eropa, diberlakan larangan menggunakan cadar (niqob) bagi Muslimah. Di China gereja (bahkan gereja rumahan) dibatasi dan dilarang. Sementara di tempat kita sebaliknya.
Di New York, masjid tak akan bisa berdiri tanpa persetujuan dari dewan pemgawas gereja. Apakah umat Islam di sana ribut? atau seperti LSM di sini yang cari muka dengan rajin membikin pernyataan bahwa bahsa Indonesia tidak toleran (padahal ujunganya, agar bantuan dana asing lancar dikirim?) 
Partai Nasional Inggris berkamapanye untuk penghentikan pembangunan sebuah masjid di Bletchley Park dengan alasan mencegah kolonisasi Islam berlanjut di Eropa. Tapi tak pernah terdengan umat Islam Inggris teriak-teriak atau mengadu ke Saudi.
Pertanyaannya, dengan contoh tadi, apakah pantas Barat mengajari kita tentang toleransi?
Untuk itu, mari kita secara sadar belajar bersikap toleran. Toleran dalam arti yang sesungguhnya adalah tidak memaksakan kehendak (agama) lain  terhadap (agama) kita.
Jika itu terus dilakukan dan terjadi, kata orang Jawa itulah yang disebut “ngelunjak”. Ngelunjak itu, “diberi hati, minta jantung.”*
Penulis adalah peminat masalah sosial keagamaan, berdomisili di Aceh
http://www.voa-islam.com/lintasberita/hidayatullah/2012/06/06/19389/toleransi-beragama-yang-ngelunjak/

6/22/2012

Refleksi Gerakan Islam: Tuntutan Sinergis untuk Rumuskan Musuh Bersama

JAKARTA (VoA-Islam) - Hadits Rasulullah Saw menyatakan, bahwa umat Islam akan terbagi menjadi 73 golongan, dan yang selamat hanya satu. Hadits ini kemudian dijadikan alasan normatif, seolah umat Islam tidak dapat bersatu.
Menarik, membaca buku yang ditulis Ketua Umum Partai Bulan Bintang, MS. Ka’ban berjudul Syariat Islam Sah Diterapkan di Indonesia: Solusi Problem Bangsa” , terutama dalam bab yang membahas “Konsolidasi Umat”.
Menurut Ka’ban, sebuah realita yang tak dipungkiri, betapa umat Islam Indonesia tidak mempunyai satu ritme gerakan untuk melaksanakan agenda umat melawan musuh bersama Islam.
Atau jangan-jangan musuh bersama (common enemy) itu tidak pernah terpikirkan oleh umat Islam, sehingga justru yang menjadi musuh adalah kelompok Islam lain.
“Sinergitas antar gerakan Islam tidak tampak dan yang muncul adalah egoisme kelompok, seolah hanya dengan kelompoknya sendiri seluruh persoalan umat Islam dapat dipecahkan,” ungkap Ka’ban.
Disamping gerakan Islam lemah dalam konsolidasi, lanjut Ka’ban, mereka juga lemah dalam menyusun strategi gerakan, sehingga tidak efektif dalam mengusung agenda Islam.
Gerakan Islam lebih tertarik membuat program yang bisa memperbesar anggota ketimbang program yang langsung menyentuh persoalan umat. Sehingga program pemberdayaan masyarakat, advokasi terhadap mereka yang tertindas atau membangun kekuatan ekonomi serta politik umat Islam menjadi terlupakan.
Gerakan Islam juga lebih cenderung hanya bisa membuat “kerumunan” ketimbang gerakan efektif yang langsung bisa menembak sasaran dengan tepat. Akibatnya, beberapa agenda gerakan Islam itu hanya efektif di tingkat isu, tetapi tidak terasa di tingkat aplikasi kongkritnya.
Marilah bertanya jujur, siapa yang mengendalikan negeri ini? Umat Islam kah, atau umat Islam hanya menjadi sekedar komoditi untuk diperjual-belikan. Dalam bidang politik, siapa yang berkuasa? Mereka memang beragama Islam, tetapi apakah mereka dengan serius melaksanakan agenda gerakan Islam?
Keadaan semakin diperparah, saat politik pecah belah dan adu domba dihembuskan Barat. Perpecahan itu, bahkan sampai di tingkat lokal dan akar rumput. Akibatnya, Umat Islam menjadi saling curiga antara satu kelompok dengan kelompok lain, sampai terjadi konflik yang berdarah-darah.
Perbedaan furuiyah, manhaj gerakan, manhaj dakwah dan tarbiyah dijadikan lahan subur untuk saling menafikan, bahkan mengkafirkan. Perbedaan ini kian terasa panas jika sudah memasuki wilayah politik.
“Disinilah pentingnya konsolidasi umat Islam agar kondisi umat Islam tidak semakin parah. Konsolidasi gerakan yang dimaksud adalah sinergitas antar gerakan Islam , walaupun masing-masing bergerak dengan cara dan strateginya sendiri. Sehingga diantara gerakan Islam bisa saling melengkapi dan menyempurnakan,” ungkap Ka’ban.
Menurutnya, konsolidasi pemahaman dilakukan melalui cara-cara silaturahim dialogis yang intensif antara gerakan Islam yang membahas tentang topik persoalan umat, bukan membahas perbedaan khilafiyah antar mereka.
Dari konsolidasi ini muncul rumusan tentang common enemy (musuh bersama) umat Islam yang dihadapi dengan terencana, sistemik, dan sinergis antar gerakan Islam. Dari konsolidasi ini pula akan terkikis saling curiga.
Ingat, dulu Masyumi tercatat dalam sejarah sebagai organisasi politik yang bisa menjadi tempat berteduh seluruh unsur umat Islam.
Tokoh-tokoh di dalamnya (Masyumi), seperti: Burhanuddin Harahap, Sjafrurrin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, Kasman Singo Dimedjo, Hamka, Muhammad Natsir dan sebagainya, berusaha menerjemahkan Islam ke dalam kerangka kekuasaan.
Dan mereka pernah mengagendakan penerapan Islam sebagai inti perjuangan mereka.Tapi itu sudah berlalu dan tergerus. Perjuangan mereka itu harus kita lanjutkan. Desastian
(http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/06/22/19595/refleksi-gerakan-islam-tuntutan-sinergis-untuk-rumuskan-musuh-bersama/)

6/21/2012


Surabaya – KabarNet: Manajemen Toko HF milik warga keturunan di Jl Semarang, Surabaya telah memecat 30 karyawan, setelah sebelumnya para karyawan itu memprotes larangan menjalankan shalat Jum’at yang diterapkan perusahaan.
Para karyawan melalui Sekjen Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SBK) Jatim Mahfun Zakaria telah mengadu ke Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur. “Mereka melapor ke PWNU dan sekarang kami advokasi mereka ke Disnaker Surabaya,” kata Ketua PW Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) Jatim H Moh Maruf Syah di Surabaya, Rabu (20/6/2012).
Bahkan, dikabarkan, pemecatan juga dilakukan terhadap karyawan toko non-Muslim yang ikut memperjuangkan shalat jumat melalui serangkaian unjuk rasa.
Dalam laporannya, SBK Jatim mencatat pelarangan Shalat Jumat itu sudah berlangsung lama melalui “Giliran Jadwal Jumat” yakni, jum’at pertama untuk sebelas karyawan, jumat kedua untuk sembilan karyawan, dan Jumat ketiga untuk sepuluh karyawan. Dengan hitungan seperti itu, seorang karyawan hanya mendapat jatah dua kali shalat jum’at dalam satu bulan.
“Untuk Jumat keempat akan kembali ke kelompok giliran pertama dan begitu seterusnya, sehingga seorang karyawan hanya dua kali Shalat Jumat dalam satu bulan, padahal seharusnya empat kali,” ucapnya.
Larangan itu menimbulkan gejolak, sehingga karyawan Muslim pun melanggar larangan itu, namun mereka justru dipecat, kemudian pengurus SBK di toko itu juga “di-polisi-kan” ke Polrestabes Surabaya. “Sekarang, kami sedang memproses laporan mereka ke Disnaker Kota Surabaya. Sampai hari ini, kami masih menunggu respons Disnaker Kota Surabaya untuk mempertemukan kami dengan pemilik toko guna berdialog,” tukasnya.
Ia menambahkan pihak perusahaan seharusnya memahami kewajiban shalat yang tidak dapat ditinggalkan, karena itu mekanisme “giliran shalat” itu juga salah dan tidak bisa dibenturkan dengan pilihan untuk shalat atau PHK.
Sebelumnya hal serupa juga terjadi di Majelis Pekanbaru, Riau (05/06/2012). Sebuah perusahaan melarang karyawannya shalat Jumat. Pelarangan ini telah dilaporkan ke MUI Pekanbaru oleh organisasi masyarakat yang ada di ibukota Riau itu.
Atas laporan ini, pihak MUI melakukan pengecekan langsung ke toko atau perusahaan yang dimaksud, yakni Toko Sony Elektronik yang berlokasi di Jalan Sudirman serta Toko Duta Elektronik di Jalan Soebrantas. Dari hasil penelusuran itu, ternyata faktanya sama dengan apa yang dilaporkan dan pihak toko telah melakukan pelanggaran hak dalam beragama. [KbrNet/Slm/Republika]

6/07/2012

Ini kisah nyata: Abah

Abah, demikian orang2 memanggilnya, lelaki baya bertumbuh gempal. Kemanapun ia selalu bersarung dan berkopiah putih, seputih rabut kepalanya. Ia seorang kyai dari sebuah kota, 40km dari tempatku. Banyak warga kampungku ngaji pada beliau, tiap bulan ia selalu datang. Wan, seorang pemuda, sahabatku biasanya jadi ajudan yang antar jemput beliau dari terminal. Ia tak pernah minta "sangu" dari kunjungannya kepada kami. Beberapa bulan sekali jamaahnya berkunjung kerumah beliau, sebuah Pesantren Tradisional di kota B. Ia cukup kaya, menurut pandangan kami.

Ini cerita Wan sang ajudan: Suatu ketika selesai berkunjung ke kampung kami Abah minta diantar sampai terminal, sampai terminal turunlah Abah dari motor butut sahabatku Wan. Wan menatap dari kejauhan Abah yang berlalu diterminal. Tapi sampai beberapa bis ke kota B lewat Abah tak kunjung naik. Beliau justru terus berjalan menyusuri pinggiran trotorar, akhirnya Wan membntuti Abah. Sampai ia menyusul Abah.

Ia berkata:
"Bah, kok belum naik."
"Ya, nanti saja!" Jawab Abah.
"Abah mau mampir kemana?"
"Nggak nanti pingin jalan dulu."
Wan tertegun, ada yang 'tidak beres' pikirnya.
"Bah, abah bawa uang ngga?" tanya Wan.
Abah diam sejenak kemudia berkata, "Tidak."
Wan terkesiap, ia mengamati wajah Abah yang tetap datar tanpa beban.
"Wah Bah, ini saya ada Bah, dipakai buat naik bis ya Bah!" kata Wan.
"O ya, maturnuwun." jawab Abah datar.

Wan selalu mengenang itu, ia tetap bertanya-tanya, "Apa jadinya jika ia tak mebuntuti Abah? Apakah ini yang pertama kali, atau sudah pernah sebelumnya terjadi? Toh ia biasanya langsung 'ngacir' setelah mengantar sampai terminal. Yang mengesankan baginya, wajah Abah amat biasa, tanpa beban.

Kepemimpinan dalam Islam

Kepemimpinan Kepemimpinan dalam berfungsi untuk mengkoordinasikan, memimpin dan mengatur setiap pelaksanaan syariat. Ada beberapa istilah ...