6/28/2025

Merugilah Anak yang Tak Menjadikan Orang Tua Renta sebagai Jalan ke Surga



Beberapa waktu lalu, beredar di media sosial sebuah video menyayat hati: seorang wanita tua duduk termenung di sebuah panti jompo. Matanya kosong, tangannya bergetar, dan sesekali menoleh ke arah pintu seolah menanti kedatangan seseorang. Belakangan diketahui bahwa ia adalah ibu dari lima orang anak. Dahulu, ia seorang diri berjuang membesarkan mereka—menggendong saat sakit, menahan lapar demi menyuapi, memeras tenaga demi pendidikan mereka. Namun kini, ketika rambutnya telah memutih dan langkahnya tertatih, anak-anaknya justru menitipkannya ke panti jompo dengan alasan kesibukan. Ia dilupakan, padahal dulu tak pernah melupakan.


Fenomena semacam ini menggambarkan sebuah ironi besar: di saat seseorang memiliki kesempatan emas untuk berbakti, mereka justru memilih berpaling. Padahal, tinggal bersama orang tua yang telah renta adalah peluang langka yang Allah berikan sebagai sarana meraih surga. Maka, sungguh merugilah anak yang tidak menjadikan keadaan ini sebagai ladang amalnya.

Dalil Al-Qur’an

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’, dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al-Isra’: 23)

Ayat ini menegaskan bahwa berbakti kepada orang tua, khususnya saat mereka telah tua renta, adalah perintah langsung dari Allah. Bahkan sekadar berkata "ah" pun dilarang—apalagi mengabaikan dan menelantarkan mereka.

Hadis Nabi ﷺ

Rasulullah ﷺ memperingatkan:

"Celaka! Celaka! Celaka!" Para sahabat bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang mendapati salah satu atau kedua orang tuanya lanjut usia, namun ia tidak masuk surga (karena berbuat baik kepada mereka)." (HR. Muslim no. 2551)

Ini adalah peringatan yang sangat keras dari Nabi ﷺ. Betapa besar peluang masuk surga melalui orang tua yang tua, namun betapa banyak pula yang melewatkannya dengan sia-sia.

 Pendapat Ulama

Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadis di atas menunjukkan ancaman bagi siapa pun yang tidak menggunakan keberadaan orang tua yang renta sebagai kesempatan untuk berbuat baik dan meraih surga.

Ibnul Jauzi dalam Birrul Walidain berkata:

"Barang siapa yang mendampingi orang tuanya yang lemah, lalu tidak berusaha membuat Allah ridha melalui mereka, maka sungguh ia telah melewatkan keuntungan besar."

Lebih dari sekadar kewajiban, melayani orang tua yang telah lanjut usia adalah bentuk kesyukuran dan adab seorang anak. Ini juga menjadi cara Allah menguji cinta dan pengorbanan kita kepada keluarga.

Setiap kita, akan jadi orang tua

Setiap anak kelak akan menjadi orang tua. Maka tanyakan pada diri sendiri: apakah aku ingin diperlakukan sama seperti aku memperlakukan orang tuaku sekarang?

Tinggal bersama orang tua yang renta bukan beban, tapi kehormatan. Bukan beban, melainkan jalan mulia menuju ridha Allah dan surga-Nya. Dan merugilah orang yang menyia-nyiakan kesempatan ini, karena pintu surga itu nyata di hadapannya, namun ia memilih untuk membiarkannya tertutup. 

6/27/2025

Kenaifan Kaum Agamis Tekstual dan Kaum (Ngaku) Ateis yang Sok Ilmiah


Dalam lanskap pemikiran hari ini, kita menyaksikan dua kutub ekstrem yang sering bersuara keras: kaum agamis tekstual dan kaum yang mengaku ateis namun merasa paling ilmiah. Keduanya sama-sama terjebak dalam 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘪𝘧𝘢𝘯, meski dengan bentuk dan cara yang berbeda. Kaum agamis terlalu tergesa mengklaim kebenaran wahyu tanpa memahami realitas, sementara kaum ateis terlalu cepat menutup kemungkinan transenden karena merasa cukup dengan sains. Dua-duanya gagal melihat luasnya realitas dan keterbatasan manusia.

1. Kenaifan Kaum Agamis Tekstual

Kaum ini memegang teks suci secara harfiah tanpa memahami konteks, metode tafsir, atau prinsip kausalitas (asbab). Contoh lucunya, ada dari mereka menolak percaya pada prakiraan cuaca BMKG, dan menyebutkan itu sebagai kesyirikan, karena seolah-olah “mendahului kehendak Tuhan.” Bagi mereka, menyatakan bahwa hujan bisa diprediksi berarti menyaingi Tuhan.

Padahal, para ilmuwan hanya mempelajari pola-pola alam berdasarkan hukum yang ditetapkan Tuhan sendiri (sunnatullah). Bahwa ada qadar dan khasiat dari sesuatu yang bisa dimanfaatkan manusia dengan akalnya untuk direkayasa agar bermanfaat. 

Alih-alih memposisikan Tuhan sebagai Sang Maha Berkehendak, malah justru Tuhan digambarkan seolah-olah bertindak spontan dan reaktif, bukan sebagai Zat Mahabijaksana yang telah menciptakan sistem dan hukum yang tetap.

Imam Al-Ghazali pernah mengkritik kaum yang menafikan sebab-akibat secara total. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia tidak menolak sebab-akibat, tapi menekankan bahwa sebab tidak memiliki daya sendiri kecuali karena izin Tuhan. Artinya, Tuhan tetap Maha Kuasa, namun hukum-hukum alam adalah sarana (asbab) yang digunakan-Nya dalam mengatur dunia.

Bahkan Al-Qur’an sendiri berulang kali menyebutkan hujan, angin, dan awan dalam bahasa kausalitas:

"Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan)...” (QS. Al-A’raf: 57)

Ayat ini menunjukkan mekanisme alam yang Tuhan ciptakan dan kelola, bukan aksi reaktif yang tiba-tiba tanpa keteraturan.

2. Kenaifan Kaum Ateis yang Sok Ilmiah

Di sisi lain, sebagian orang yang mengklaim diri sebagai ateis merasa bahwa sains telah menjelaskan segalanya, dan karena itu tidak perlu lagi konsep Tuhan. Mereka menyatakan bahwa alam semesta terjadi begitu saja, tanpa sebab. 

Ini adalah bentuk kenaifan intelektual karena justru melanggar prinsip sains itu sendiri, yaitu bahwa setiap gejala harus punya sebab dan penjelasan. David Hume, sekalipun skeptis terhadap sebab-akibat, tetap menyadari bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa asumsi kausalitas. Bahkan Stephen Hawking, meski cenderung ateistik, tetap menyusun teori asal-usul alam dalam kerangka hukum fisika—yang tentu saja adalah bentuk pengakuan bahwa alam tunduk pada keteraturan. 

Mengatakan “alam terjadi begitu saja” tanpa sebab, sejatinya bukan kesimpulan ilmiah, melainkan keyakinan metafisik yang tak terbukti. Filsuf kontemporer seperti William Lane Craig melalui Kalam Cosmological Argument, menegaskan bahwa:“

"Segala yang memiliki awal pasti memiliki sebab. Alam semesta memiliki awal, maka ia pasti memiliki sebab.”

3. Kedewasaan Intelektual: Melepaskan Kenaifan

Iman bukanlah kebodohan, dan sains bukanlah musuh spiritualitas. Namun baik iman maupun sains bisa berubah menjadi sumber arogansi dan kenaifan, jika tidak disertai keterbukaan, refleksi, dan kesadaran akan batas manusia.

Imam Malik pernah berkata, “Barangsiapa beragama tanpa ilmu, maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.”

Dan filsuf Karl Popper menyatakan, “Semakin banyak kita tahu, semakin kita sadar bahwa kita tidak tahu.”

Kedewasaan berpikir adalah ketika kita mengakui bahwa teks tidak berdiri sendiri tanpa konteks, dan bahwa sains tidak menjangkau seluruh dimensi eksistensi. Tuhan tidak dibatasi oleh hukum alam, tapi justru hukum itu adalah manifestasi kebijaksanaan-Nya, bukan pengganti-Nya.


Melawan Kenaifan

Yang perlu kita lawan bukan iman atau sains, tapi kenaifan—baik yang berbaju religius maupun yang berselimut saintisme. Iman sejati akan terbuka pada ilmu, dan ilmu sejati akan merunduk dalam kerendahan hati. Di situlah letak kebijaksanaan: tidak menafikan, tapi menyatukan; tidak membenturkan, tapi menyelami.



6/22/2025

JAS MERAH dan JAS HIJAU: Menyusun Ulang Memori Sejarah Bangsa



"Jas Merah", singkatan dari “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”, merupakan slogan yang disampaikan oleh Ir. Soekarno dalam pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1966. Slogan ini merupakan ajakan kepada bangsa Indonesia untuk tidak terputus dari akar sejarah, tidak melupakan perjalanan panjang kemerdekaan, serta menghargai jasa para pejuang bangsa. Namun dalam praktiknya, slogan ini lebih sering diklaim dan diangkat oleh kelompok nasionalis, terutama yang berideologi Sukarnoisme.

Hal ini bisa dimaklumi. Kedekatan emosional dan ideologis kelompok nasionalis terhadap figur Bung Karno membuat mereka merasa paling berhak mengangkat dan mewarisi semangat Jas Merah. Secara politik dan simbolik, slogan ini menjadi penguatan narasi bahwa nasionalislah yang paling berjasa dalam perjuangan dan pembentukan bangsa. Tak jarang muncul kesan bahwa merekalah yang dimaksud Bung Karno sebagai pelaku utama sejarah yang tak boleh dilupakan.

Namun, pemaknaan sempit terhadap sejarah seperti ini rawan mengikis keutuhan narasi kebangsaan. Sebab, sejarah kemerdekaan Indonesia bukan hanya dibentuk oleh satu golongan atau satu ideologi, melainkan merupakan hasil perjuangan kolektif seluruh elemen bangsa: nasionalis, Islamis, sosialis, hingga kekuatan lokal dan adat.

Ulama dan Umat Islam: Pilar Sejarah yang Terlupakan

Salah satu pilar penting yang kerap terpinggirkan dalam narasi besar sejarah nasional adalah peran umat Islam dan para ulama. Padahal, kontribusi mereka nyata, massif, dan berlangsung jauh sebelum munculnya organisasi-organisasi nasionalis sekuler.

1. Jejak Ulama dalam Perlawanan Terhadap Kolonialisme
Para ulama sejak abad ke-17 telah menjadi garda terdepan dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Tokoh seperti Sultan Agung, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, dan Teuku Umar merupakan pemimpin yang menggabungkan semangat jihad dan nasionalisme. Bahkan Perang Diponegoro (1825–1830) yang disebut sejarawan Peter Carey sebagai "perang terbesar melawan kolonialisme di Asia abad ke-19", dipimpin oleh seorang bangsawan yang sangat dekat dengan kalangan ulama dan pesantren.

2. Gerakan Islam Modernis dan Tradisionalis
Organisasi seperti Syarikat Islam (1912)—yang awalnya bernama Syarikat Dagang Islam—merupakan kekuatan politik awal umat Islam melawan kolonialisme dengan pendekatan ekonomi dan sosial. Kemudian muncul Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926) yang memainkan peran penting dalam penguatan akar sosial masyarakat dan penyadaran nasionalisme berbasis Islam.

3. Peran Ulama dalam Perumusan Kemerdekaan
Dalam momen-momen genting menjelang dan sesudah kemerdekaan, para ulama berada dalam barisan depan. KH Wahid Hasyim, KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, dan Mohammad Natsir adalah contoh tokoh-tokoh Islam yang aktif di parlemen, perumusan konstitusi, hingga pembentukan NKRI. Bahkan Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 menjadi landasan moral dan hukum bagi meletusnya perlawanan 10 November di Surabaya—yang kini dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Jas Hijau: Jangan Sekali-kali Menghilangkan Jasa Ulama

Maka lahirlah gagasan slogan tandingan yang komplementer terhadap Jas Merah, yaitu:

“JAS HIJAU” – Jangan Sekali-kali Menghilangkan Jasa Ulama.

Slogan ini bukan untuk mengadu domba antar golongan, tapi untuk melengkapi narasi sejarah nasional yang utuh dan adil. JAS HIJAU adalah pengingat bahwa perjuangan kemerdekaan bukan sekadar perjuangan politik, tetapi juga perjuangan spiritual, moral, dan sosial yang dipelopori oleh para ulama dan umat Islam.

Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara, dalam bukunya Api Sejarah, menjelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak mungkin terjadi tanpa peran umat Islam dan jaringan pesantren. Ia bahkan menyebut adanya “penyembunyian sejarah” yang cenderung meminggirkan tokoh-tokoh Islam demi narasi tunggal sekuler-nasionalis.

Kesimpulan: Sejarah Milik Bersama

JAS MERAH dan JAS HIJAU harus berjalan beriringan. Yang satu mengingatkan kita untuk tidak melupakan sejarah bangsa secara umum. Yang lain memperjuangkan agar jasa ulama tidak dihapus dari memori kolektif bangsa.

Bangsa Indonesia tidak akan besar jika hanya mengingat sebagian sejarah dan melupakan bagian lainnya. Keadilan sejarah adalah fondasi keadilan bangsa.


Catatan: 

JAS HIJAU adalah akronim yang disampaikan oleh Dr. Hidayat Nurwahid dalam acara Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan di Wisma Mahdhiyyin Bandung, di tengah acara Majelis Tahkim Luar Biasa Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tanggal 21-22 Juni 2025.


Referensi:

  • Soekarno, Pidato 17 Agustus 1966: “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

  • Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855.

  • Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid 1 & 2.

  • Greg Barton, The Authorized Biography of Nurcholish Madjid (tentang hubungan Islam dan nasionalisme).

  • Zainul Milal Bizawie, Masterpiece Islam Nusantara.

Baca juga:

6/21/2025

Ukuran Sukses Manusia: Menuju Keridhoan Allah dan Surga yang Dijanjikan


Dalam hiruk pikuk kehidupan dunia, ukuran kesuksesan seringkali disempitkan pada capaian-capaian materi: jabatan tinggi, harta melimpah, popularitas, atau pengaruh. Namun, dalam pandangan Islam yang menyeluruh, kesuksesan sejati adalah ketika seluruh keadaan dan potensi manusia diarahkan untuk meraih keridhoan Allah, dan akhirnya mengantarkannya kepada surga yang dijanjikan sebagai tempat kembali terbaik. 

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

"Barang siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh ia telah memperoleh kemenangan (sukses sejati)." QS. Ali Imran: 185)

Ayat ini menjadi tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan hakiki. Dunia dan segala isinya hanyalah fase ujian yang fana, sedangkan kesuksesan hakiki adalah ketika seseorang selamat dari murka Allah dan mendapatkan ridho-Nya.

Potensi Diri dan Arah Hidup

Setiap manusia dianugerahi potensi: akal, hati, waktu, dan tenaga. Sukses bukan semata hasil dari kemampuan memaksimalkan potensi ini untuk kepentingan duniawi, tetapi bagaimana potensi tersebut digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa:

"Kebahagiaan dan keberuntungan sejati ada pada penghambaan yang benar kepada Allah. Maka siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, ia akan tersesat dan binasa, sedangkan siapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan, dunia akan tunduk kepadanya."

Potensi manusia baru akan menemukan arti sebenarnya jika digunakan sebagai wasilah (sarana) untuk ibadah bukan semata untuk pencapaian dunia yang fana. Bahkan dunia bisa menjadi fitnah (ujian) jika menjauhkan dari Allah.

Kesuksesan yang Tidak Selalu Sesuai Keinginan Dunia

Tidak sedikit orang yang tampak sederhana, tidak dikenal di dunia, hidupnya tidak bergelimang harta, tapi ia sukses besar di sisi Allah. Rasulullah SAW bersabda:

"Betapa banyak orang yang rambutnya kusut, berdebu, dan tertolak dari pintu-pintu (dunia), tapi jika ia bersumpah atas nama Allah, maka Allah pasti mengabulkannya." (HR. Muslim)

Ini menggambarkan bahwa standar sukses di mata manusia tidak sama dengan sukses di mata Allah. Maka jangan heran jika orang yang tampak “biasa” di dunia adalah penghuni surga yang tinggi di akhirat, karena hatinya dipenuhi iman, lisannya sibuk berdzikir, dan hidupnya ditopang kesabaran.

Pandangan Para Ulama tentang Sukses Hakiki

Imam Al-Ghazali dalam *Ihya Ulumuddin* menyatakan:

“Kebahagiaan dan kemenangan bukanlah karena banyaknya harta atau banyaknya pengikut, tetapi karena dekatnya hati kepada Allah dan bersihnya jiwa dari cinta dunia yang melalaikan.”

Begitu pula Imam Hasan Al-Bashri berkata:

“Sungguh aku melihat kaum (sahabat Nabi), mereka menganggap dunia sebagai sesuatu yang hina, dan amal akhirat sebagai satu-satunya kesibukan mereka. Demi Allah, mereka adalah manusia paling sukses."

Kembali Menyusun Ukuran Hidup

Dari uraian di atas, kita diingatkan kembali bahwa kesuksesan bukan hanya tentang pencapaian terhadap dunia, melainkan bagaimana keadaan dan potensi kita digunakan untuk menggapai ridho Allah, bukan sekadar ambisi pribadi.

Kesuksesan bukan soal berapa banyak yang dimiliki, tetapi apa yang diperjuangkan dan untuk siapa kita hidup. 

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bagi mereka surga Firdaus sebagai tempat tinggal." (QS. Al-Kahfi: 107)


Maka, arahkan potensi dan perjalanan hidup kepada satu tujuan besar: **keridhoan Allah dan surga yang kekal abadi**. Itulah sukses sejati yang tak akan pernah pudar.


Cokroaminoto: Singa Podium dan Pelopor Zelfbestuur di Hindia Belanda



Ketika sejarah kemerdekaan Indonesia ditelusuri ke akarnya, sering kali kita langsung teringat pada proklamasi 1945 dan tokoh-tokoh seperti Soekarno dan Hatta. Namun, di balik gemuruh kemerdekaan itu, ada satu sosok penting yang jauh sebelumnya telah meniupkan api perjuangan: Haji Oemar Said Cokroaminoto. Ia bukan hanya orator ulung yang dijuluki Singa Podium, tetapi juga salah satu tokoh pertama yang secara terang-terangan menyerukan zelfbestuur — hak pemerintahan sendiri — kepada pemerintah kolonial Belanda.

Zelfbestuur: Gagasan Kemerdekaan Sebelum Kemerdekaan

Pada Kongres Sarekat Islam pertama di Bandung tahun 1916, Cokroaminoto tampil sebagai tokoh utama yang menyuarakan perlunya zelfbestuur bagi bangsa Indonesia. Dalam konteks politik kolonial saat itu, gagasan ini amat radikal. Kata "kemerdekaan" belum boleh diucapkan, namun Cokroaminoto dengan berani menyampaikannya dalam bentuk tuntutan agar Hindia Belanda diberikan hak untuk mengatur nasibnya sendiri.


Dalam pidatonya, ia berkata:


“Kami menghendaki pemerintahan sendiri, kami menuntut zelfbestuur!”

(Sumber: Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.Jakarta: Grafiti, 1997.)


Pernyataan ini bukan hanya mencengangkan pemerintah kolonial, tetapi juga menyadarkan kaum bumiputera bahwa ada kemungkinan untuk menjadi tuan di negeri sendiri.


Cokroaminoto dan Sarekat Islam: Membangun Kesadaran Nasional


Sarekat Islam (SI), di bawah kepemimpinan Cokroaminoto, menjadi organisasi massa terbesar di Indonesia pada awal abad ke-20. SI bukan sekadar gerakan ekonomi umat Islam, melainkan berkembang menjadi kendaraan politik yang menampung berbagai aspirasi kemerdekaan. Di sinilah Cokroaminoto menunjukkan kepiawaiannya merangkul massa, membangun kesadaran nasional, dan merumuskan arah perjuangan.


Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan terkemuka Indonesia:

“Cokroaminoto adalah pelopor nasionalisme politik yang berbasis massa. Ia menanamkan kesadaran politik kepada rakyat kecil, hal yang tidak dilakukan oleh tokoh-tokoh elitis sebelumnya.”

(Sumber: Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Pustaka Jaya, 1984.)


Guru Para Pemimpin Besar


Kehebatan Cokroaminoto tidak hanya diukur dari gagasannya, tetapi juga dari generasi pemimpin yang lahir dari didikannya. Di rumahnya di Surabaya, ia mendidik tokoh-tokoh yang kelak memainkan peran besar dalam sejarah Indonesia: Soekarno, Semaoen, Kartosoewirjo, dan bahkan Tan Malaka.


Menurut Soekarno dalam autobiografinya "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat", ia menyebut:

“Cokroaminoto adalah guru bangsa. Di rumahnya saya belajar berpikir politik dan membayangkan Indonesia yang merdeka.”


Cokroaminoto berhasil mempengaruhi spektrum ideologi nasionalisme, Islamisme, dan sosialisme yang kelak mewarnai dinamika politik Indonesia.


Warisan Besar yang Terlupakan


Meskipun tidak sempat menyaksikan kemerdekaan yang ia impikan — Cokroaminoto wafat pada tahun 1934 — gagasan dan pengaruhnya tetap hidup. Zelfbestuur bukan lagi sekadar tuntutan politis, tetapi menjadi jalan menuju kemerdekaan sejati yang akhirnya dicapai pada 17 Agustus 1945.


Namun dalam buku-buku sejarah populer, nama Cokroaminoto sering kali tertutup bayang-bayang murid-muridnya. Padahal, ia adalah peletak dasar nasionalisme yang pertama kali menantang kolonialisme dengan ide pemerintahan sendiri secara terbuka.

Arsitek Kebangkitan Nasional

Cokroaminoto adalah tokoh sentral yang mengartikulasikan kemerdekaan jauh sebelum kata itu mendapat tempat dalam diskursus politik Hindia Belanda. Ia tidak hanya bersuara, tetapi membangun kesadaran. Ia bukan sekadar pemimpin gerakan, tetapi penggagas arah. Dalam sejarah Indonesia, ia layak dikenang bukan hanya sebagai singa podium, tetapi sebagai arsitek awal kebangkitan bangsa.

Referensi:

1. Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912–1926. Grafiti Pers, 1997.

2. Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Pustaka Jaya, 1984.

3. Soekarno. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Gunung Agung, 1965.

4. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008*. Serambi, 2008.

5. Suardi Tasrif. Cokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya. Bulan Bintang, 1951


Selamat anda telah menjadi pembaca artikel kami, teruskan membaca artikel lainnya. 

Baca juga:

Khilafah adalah ideologi global

6/18/2025

Urgensi Kepemimpinan dalam Islam: Antara Tuntutan Syariat dan Realitas Umat




Kematian Rasulullah SAW adalah peristiwa yang mengguncang kaum Muslimin. Namun yang menarik, para sahabat tidak langsung menguburkan jenazah beliau, tetapi lebih dahulu berunding untuk menentukan siapa yang akan menjadi pengganti Rasulullah dalam memimpin umat. Ini menunjukkan betapa penting dan mendesaknya persoalan kepemimpinan (imamah/khalifah) dalam Islam. Tanpa pemimpin, umat akan tercerai berai, kehilangan arah, dan mudah dipermainkan oleh kekuatan luar maupun hawa nafsu dari dalam.

Istilah Kepemimpinan dalam Al-Qur’an dan Maknanya

Dalam Al-Qur'an dan hadits, kepemimpinan disebut dengan beberapa istilah, antara lain:

  1. Imam (إمام)
    Secara bahasa berarti "yang diikuti". Dalam Al-Qur’an, istilah ini digunakan untuk menunjukkan sosok teladan yang memimpin umat.

    "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu dia melaksanakannya. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia."
    (QS. Al-Baqarah: 124)

    Imam di sini berarti pemimpin yang ditaati dan dijadikan panutan dalam menjalankan agama dan urusan dunia.

  2. Ulil Amri (أُولِي الْأَمْرِ)
    Merujuk pada orang-orang yang memiliki otoritas dalam urusan umat, baik pemimpin politik maupun ulama.

    "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu."
    (QS. An-Nisa: 59)

    Ulil Amri mencakup kepemimpinan kolektif, seperti pemimpin negara dan tokoh keagamaan, yang otoritasnya berasal dari syariat dan maslahat umat.

  3. Amir (أمير)
    Bermakna "komandan" atau pemimpin dalam urusan militer dan administratif. Rasulullah SAW menyebutkan,

    "Apabila tiga orang keluar dalam perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu sebagai amir (pemimpin)."
    (HR. Abu Dawud)

    Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan diperlukan bahkan dalam lingkup terkecil.

  4. Khalifah (خليفة)
    Berarti "pengganti". Ini mengandung makna representasi manusia atas amanah dari Allah untuk memakmurkan dan menegakkan keadilan di muka bumi.

    "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
    (QS. Al-Baqarah: 30)

    Dalam konteks sejarah, istilah khalifah digunakan untuk menyebut para pemimpin umat pasca Rasulullah SAW.

Kedudukan, Fungsi, dan Tugas Pemimpin

Menurut Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, kepemimpinan dalam Islam adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) untuk menjaga agama dan mengatur dunia dengan nilai-nilai Islam. Fungsi utama pemimpin meliputi:

  1. Menjaga agama dan menegakkan hukum-hukum syariat.

  2. Menegakkan keadilan, memberikan hak kepada yang berhak.

  3. Menjaga keamanan, baik dari ancaman luar maupun kezaliman dalam negeri.

  4. Mengelola harta negara (baitul mal) dan mendistribusikannya dengan adil.

  5. Mengatur urusan umat, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan diplomasi.

Imam Al-Ghazali dalam Al-Iqtisad fi al-I'tiqad menyatakan:

“Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasinya, dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa yang tidak memiliki penjaga akan hancur, dan apa yang tidak memiliki pondasi akan runtuh.”

Bahaya dan Dampak Umat Tanpa Kepemimpinan

Ketiadaan pemimpin dalam suatu umat akan menimbulkan kekacauan, perpecahan, dan lemahnya kewibawaan syariat. Dalam hadits disebutkan:

"Barang siapa mati dalam keadaan tidak memiliki bai'at kepada seorang imam (pemimpin), maka ia mati dalam keadaan jahiliyah."
(HR. Muslim)

Tanpa pemimpin:

  • Umat kehilangan arah dan visi bersama.

  • Syariat tidak bisa ditegakkan secara institusional.

  • Potensi umat tercerai-berai oleh kepentingan pribadi dan kelompok.

  • Musuh mudah masuk dan melemahkan dari dalam.

Persatuan, Strategi, dan Kekuatan

Pemimpin adalah simbol persatuan. Ia mengarahkan umat kepada satu visi yang terarah. Dalam pertempuran Uhud, kekalahan kaum Muslimin bukan karena lemahnya kekuatan fisik, tetapi karena ketidaktaatan terhadap instruksi pemimpin (Rasulullah). Ini menunjukkan pentingnya strategi, komando, dan ketaatan dalam barisan umat.


Kepemimpinan adalah kesempurnaan agama

Islam menempatkan kepemimpinan sebagai tiang penyangga peradaban. Ia bukan sekadar posisi administratif, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan Islam yang wajib ditegakkan untuk menjaga agama dan kemaslahatan umat. Tanpa kepemimpinan, syariat tidak akan tegak sempurna, dan umat akan kehilangan arah. Oleh karena itu, menegakkan kepemimpinan yang adil, amanah, dan syar’i adalah bagian dari ibadah kolektif umat.


Referensi:

  1. Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah

  2. Al-Ghazali, Al-Iqtisad fi al-I’tiqad

  3. Ibnu Taimiyah, As-Siyasah As-Syar’iyyah

  4. Tafsir Al-Qur’anul Karim, Ibnu Katsir

  5. Shahih Muslim, 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘣 𝘐𝘮𝘢𝘳𝘢𝘩


Selamat, anda adalah orang yang peduli ilmu dan literasi, teruskan dengan artikel-artikel bermanfaat lainnya. 

Baca juga:

6/17/2025

Kritik yang Dibalas Stigma

 


Fenomena—di mana kritik terhadap pemerintah dibalas dengan serangan terhadap pribadi pengkritik, bukan substansi kritik—dapat dijelaskan dengan berbagai pendekatan dalam ilmu sosial dan politik, terutama dalam kerangka psikologi politik, teori komunikasi, dan analisis kekuasaan.


1. Teori Delegitimasi (Delegitimization Theory)

Dalam ilmu sosial, delegitimasi adalah strategi untuk melemahkan posisi lawan dengan menyerang kredibilitasnya, bukan argumennya. Ketika seseorang mengkritik pemerintah, kekuasaan (atau pendukungnya) bisa merasa terancam, sehingga merespons dengan labelling: "barisan sakit hati", "anak abah", "orang kalah", dsb. Ini bertujuan untuk:

  • Mengalihkan perhatian dari isi kritik ke motif pribadi si pengkritik.

  • Membingkai kritik sebagai ekspresi dendam atau ambisi politik pribadi, bukan kepedulian terhadap publik.

📚 Referensi:

  • Bar-Tal, Daniel. Group Beliefs: A Conception for Analyzing Group Structure, Processes, and Behavior (2000).

  • Tajfel, Henri & Turner, John C. (1986). The Social Identity Theory of Intergroup Behavior.


2. Ad Hominem dan Strategi Komunikasi Politik

Dalam retorika dan teori komunikasi, serangan terhadap pribadi dikenal sebagai fallacy ad hominem. Ini adalah logical fallacy yang umum digunakan dalam politik populis.

Alih-alih menjawab kritik secara rasional, politisi (atau buzzer politik) justru:

  • Menyerang latar belakang pengkritik (misalnya mantan pejabat, aktivis, atau oposan lama).

  • Menstigmatisasi dengan asosiasi negatif agar publik tak percaya pada kritik tersebut.

Ini sering dipakai dalam politik identitas dan politik populis, di mana kebenaran bukan diukur dari argumen, tapi dari siapa yang bicara.

📚 Referensi:

  • Lakoff, George (2004). Don’t Think of an Elephant!: Bagaimana framing dalam politik bekerja.

  • McNair, Brian (2007). An Introduction to Political Communication.


3. Politik Kekuasaan dan Perlindungan Narasi

Dalam teori politik kekuasaan (terutama dari Michel Foucault), penguasa tidak hanya memonopoli sumber daya ekonomi dan hukum, tetapi juga mengontrol narasi publik. Kritik bisa dianggap sebagai ancaman terhadap legitimasi kekuasaan, dan karena itu:

  • Diredam bukan dengan dialog, tapi dengan stigmatisasi.

  • Dibungkam dengan mengisolasi pengkritik dari simpati publik.

Ketika opini publik bisa digiring untuk percaya bahwa pengkritik punya niat jahat, maka pemerintah tidak perlu menjawab kritik itu secara substansial.

📚 Referensi:

  • Foucault, Michel (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings.

  • Chomsky, Noam & Herman, Edward S. (1988). Manufacturing Consent.


4. Fenomena Buzzer dan Mediasi Politik Digital

Di era digital, terutama di negara-negara demokrasi lemah atau semi-otoriter, pemerintah (atau pihak yang diuntungkan oleh kekuasaan) menggunakan buzzer, influencer, atau pasukan siber untuk:

  • Memonopoli opini publik di media sosial.

  • Melakukan cyberbullying atau character assassination terhadap pengkritik.

Ini disebut dalam kajian sebagai “digital authoritarianism”—di mana demokrasi secara formal tetap ada, tapi ruang kebebasan dieksploitasi untuk menekan oposisi dan kritik.

📚 Referensi:

  • Freedom House (2022). Freedom on the Net.

  • Howard, Philip N., et al. (2018). The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.


Kesimpulan

Fenomena serangan terhadap pribadi pengkritik alih-alih menjawab substansi kritik mencerminkan beberapa kondisi sosial-politik:

  1. Ketidakmampuan atau ketidakmauan menghadapi kritik secara intelektual.

  2. Upaya mempertahankan narasi kekuasaan dengan membungkam suara berbeda.

  3. Politik populis yang menggiring persepsi bahwa hanya “orang baik” yang boleh bersuara, dan kritik = dendam.

  4. Polarisasi masyarakat dan pembentukan echo chamber digital, yang membuat rasionalitas tersisih oleh loyalitas.

Dalam masyarakat demokratis yang sehat, kritik adalah bentuk partisipasi warga negara. Ketika kritik dibalas dengan stigmatisasi, itu tanda adanya regresi demokrasi dan dominasi politik identitas.

6/16/2025

Paradoks Demokrasi dan Pandangan Islam terhadap Kekuasaan Rakyat


Pendahuluan

Demokrasi, secara konseptual, adalah sistem politik yang menyandarkan kedaulatan pada rakyat. Di dalamnya, suara mayoritas dianggap sebagai pilar utama dalam menentukan keputusan publik. Namun, dalam praktiknya, demokrasi sering kali menunjukkan paradoks yang mendalam. Mayoritas yang secara statistik mendominasi sistem ini kerap berasal dari kalangan subordinat — kelompok masyarakat yang lemah secara ekonomi, pendidikan, dan kekuasaan. Mereka bukan hanya rentan terhadap manipulasi, tetapi juga kerap dijadikan alat oleh elit yang lebih kuat. Maka, yang tampil bukanlah kedaulatan rakyat secara utuh, melainkan rekayasa atas kehendak rakyat oleh kekuatan yang lebih besar.

Paradoks Demokrasi: Kedaulatan dalam Manipulasi

Dalam teori politik modern, terutama yang dikembangkan oleh para pemikir liberal seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau, demokrasi dijanjikan sebagai sistem partisipatif di mana rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Namun, sebagaimana dikritik oleh filsuf kontemporer seperti Noam Chomsky dan Sheldon Wolin, demokrasi dalam praktik sering dikendalikan oleh kekuatan ekonomi dan media massa yang membentuk opini publik sesuai kepentingannya.

Mayoritas yang menjadi penentu keputusan justru mudah dimobilisasi dengan narasi dan imajinasi yang dibentuk oleh elit. Dalam konsep "manufacturing consent" (membentuk persetujuan) yang digagas Chomsky, rakyat seolah-olah memilih secara bebas, padahal mereka diarahkan secara sistematis. Maka, demokrasi berubah menjadi oligarki terselubung.

Islam dan Kritik terhadap Mayoritas

Islam sebagai sistem nilai dan pandangan hidup tidak menafikan pentingnya musyawarah atau keterlibatan umat dalam urusan publik. Namun, Al-Qur’an bersikap kritis terhadap pengultusan suara mayoritas. Dalam QS. Al-An'am: 116, Allah berfirman:

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta."

Ayat ini menunjukkan bahwa mayoritas bukanlah ukuran kebenaran. Dalam sejarah para nabi, mayoritas umat justru menolak kebenaran dan lebih memilih jalan yang menyimpang. Hal ini menunjukkan bahwa kuantitas tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas atau kebenaran.

Selain itu, dalam QS. An-Nahl: 43, Allah memerintahkan:

"Fas'alu ahla al-dzikri in kuntum la ta'lamun"
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."

Ini menegaskan bahwa dalam mengambil keputusan atau memahami suatu masalah, yang harus dirujuk adalah mereka yang ahli dan kompeten, bukan suara terbanyak.

Konsep Syura dalam Islam: Kualitatif, Bukan Kuantitatif

Islam mengenal konsep syura (musyawarah), yang disebut dalam QS. Asy-Syura: 38:

"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (memenuhi) seruan Tuhan mereka dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..."

Namun, syura dalam Islam tidak identik dengan demokrasi liberal yang menuhankan suara mayoritas. Dalam syura, partisipasi rakyat dihargai, tetapi keputusan tidak semata-mata berdasarkan kuantitas suara, melainkan pada kualitas dan integritas pendapat yang diajukan, dengan melibatkan para ulama, ahli, dan pemimpin yang adil.

Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sultaniyyah menekankan bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh orang yang memenuhi syarat keilmuan, keadilan, dan kemampuan, bukan semata dipilih oleh mayoritas.

Kritik Islam Terhadap Populisme dan Mobokrasi

Demokrasi modern juga menghadapi ancaman populisme, di mana pemimpin meraih kekuasaan dengan membakar emosi massa tanpa memberikan solusi substansial. Dalam konteks ini, demokrasi menjelma menjadi mobokrasi — kekuasaan oleh massa yang tidak terdidik.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyebut bahwa kekuasaan yang diperoleh melalui dukungan massa tanpa fondasi ilmu dan akhlak akan berumur pendek dan merusak tatanan masyarakat. Baginya, kekuasaan harus dilandasi oleh ilmu, adab, dan legitimasi moral.

Islam: Sistem Epistokratik dan Etikokratis

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam lebih dekat dengan sistem epistokrasi — yaitu kekuasaan yang mempertimbangkan keahlian dan ilmu — dan etikokrasi, yaitu sistem yang dibangun atas dasar moral dan tanggung jawab di hadapan Allah. Kepemimpinan bukanlah hak semua orang, tetapi amanah yang harus dijalankan oleh yang paling layak dan bertakwa.

Sebagaimana hadis Nabi ﷺ:

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Islam: Kekuasaan diserahkan kepada ahlinya

Paradoks demokrasi menunjukkan bahwa sistem yang menuhankan suara mayoritas belum tentu menghasilkan keadilan atau kebenaran. Islam memberikan pendekatan yang lebih realistis dan berbasis nilai — bahwa kekuasaan harus diletakkan pada mereka yang ahli, jujur, dan bertanggung jawab secara moral. Al-Qur’an tidak mengajarkan kekuasaan oleh jumlah, tetapi oleh kebenaran dan integritas.

Dengan demikian, jika demokrasi terus bergantung pada manipulasi mayoritas, maka Islam menawarkan jalan alternatif: kekuasaan berdasarkan ilmu, adab, dan amanah — yang ditujukan bukan untuk kekuasaan itu sendiri, tapi untuk menegakkan kebenaran.


Ayo lanjutkan petualangan anda untuk cerdas dan berwawasan dengan terus mengikuti artikel kami. 

Baca juga:

Skeptisisme Modern, jejak lama dengan wajah baru.

Demokrasi Tanpa Nalar: Ketika Kritik Dibalas Stigma

Kewajiban Menjalankan Syariat: Antara Ketetapan Allah dan Ketaatan Manusia


Pendahuluan

Syariat adalah aturan hidup yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia, baik dalam aspek ibadah maupun muamalah. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Jika Allah telah menetapkan syariat, mungkinkah manusia dibolehkan untuk tidak melaksanakannya? Apakah mungkin hukum syariat hanya menjadi pilihan, bukan kewajiban?

Menjawab pertanyaan ini membutuhkan pendekatan dari Al-Qur’an, hadits, serta pendapat para ulama yang otoritatif dalam bidang syariat. Sebab, memahami syariat tidak cukup hanya dengan logika, melainkan harus didasarkan pada dalil dan ilmu yang sahih.


1. Syariat sebagai Ketetapan Ilahiah yang Mengikat

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan bahwa syariat bukan sekadar anjuran atau pilihan, tetapi merupakan perintah yang wajib ditaati:

"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui."
(QS. Al-Jatsiyah: 18)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menempatkan manusia dalam kerangka aturan (syariat) dan menuntut untuk mengikutinya, bukan untuk menegosiasikannya. Maka jika syariat adalah ketetapan dari Allah, mustahil bagi Allah untuk membiarkannya dinegasikan oleh manusia tanpa konsekuensi.


2. Kewajiban Taat terhadap Syariat dalam Hadits Nabi

Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka ia telah durhaka kepada Allah."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ketaatan kepada Rasul adalah bentuk nyata dari pelaksanaan syariat. Maka menolak sebagian atau seluruh syariat berarti membangkang terhadap ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Penolakan seperti ini tidak bisa dianggap sebagai perkara remeh, karena memiliki konsekuensi akidah.


3. Pendapat Para Ulama: Penolakan Syariat Adalah Kekufuran

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menyatakan:

"Barangsiapa menolak satu hukum saja dari hukum-hukum Allah yang telah jelas, maka ia telah keluar dari Islam dengan kesepakatan ulama, walaupun ia mengamalkannya."

Artinya, syariat bukan hanya untuk diamalkan, tapi juga untuk diimani dan diyakini sebagai kewajiban. Bahkan jika seseorang mengerjakan hukum tersebut tapi menganggapnya bukan kewajiban, maka itu termasuk bentuk kufur juhud (kekufuran karena penolakan).


4. Syariat Adalah Ujian Kepatuhan Manusia

Allah tidak menetapkan syariat sebagai beban tanpa hikmah, tetapi sebagai ujian ketaatan:

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji?"
(QS. Al-Ankabut: 2)

Ujian itu berupa perintah dan larangan. Maka jika manusia merasa berhak untuk menolak hukum Allah, sejatinya ia gagal dalam ujian itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim:

"Syariat adalah rahmat dan keadilan Allah. Maka setiap aturan yang keluar dari rahmat dan keadilan, maka ia bukan bagian dari syariat."
(I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim)

Artinya, semua hukum syariat sejatinya membawa kebaikan, walau terkadang terasa berat bagi hawa nafsu. Maka penolakan terhadap syariat bukan karena buruknya aturan, tapi lemahnya iman dan tunduknya hati kepada hawa nafsu.


5. Tidak Ada Iman Tanpa Kepatuhan terhadap Syariat

Allah berfirman dengan sangat tegas:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."
(QS. An-Nisa: 65)

Ayat ini menjadi dasar utama bahwa menolak hukum syariat, apalagi menggantinya dengan hukum buatan manusia, adalah penafian terhadap keimanan itu sendiri. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa siapa pun yang menolak keputusan Rasulullah atau hukum Allah, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata.


Kesimpulan

Menetapkan syariat adalah hak prerogatif Allah sebagai Rabb semesta alam. Maka, mustahil Allah menetapkan hukum syariat namun membolehkan manusia untuk mengabaikannya tanpa konsekuensi. Penolakan terhadap syariat bukan hanya pelanggaran, tapi bentuk pembangkangan terhadap otoritas ilahiyah. Oleh karena itu, setiap Muslim wajib meyakini dan menjalankan syariat sebagai bentuk penghambaan yang tulus kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam bis shawab.


Selamat! Teruskan di jalan ilmu, dengan bacaan yang bermanfaat untuk hidup anda. 

Syariat yang Membumi: Fondasi Dalil, Nalar, Fakta, dan Ilmu

6/15/2025

Syariat yang Membumi: Fondasi Dalil, Nalar, Fakta, dan Ilmu

 

Dalam wacana hukum Islam, sering kali kita menemui dua kutub ekstrem: satu pihak menjadikan syariat seolah sesuatu yang mengawang-awang, jauh dari realitas kehidupan manusia, sementara pihak lain justru mereduksi syariat menjadi sekadar aturan sosial tanpa dimensi transendental. Padahal, syariat Islam tidak semestinya berdiri di awang-awang tanpa pijakan, melainkan harus dibangun di atas empat fondasi utama: dalil yang kuat, nalar yang kokoh, fakta empiris, dan dasar yang saintifik. Inilah prinsip penting dalam menjaga agar produk syariat tetap otentik, relevan, dan aplikatif sepanjang zaman.


 1. Dalil yang Kuat: Pondasi Tekstual

Pertama dan utama, syariat harus berpijak pada "dalil yang shahih dan jelas" dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak ada produk hukum Islam yang sah tanpa landasan nash, karena di sanalah letak otoritas wahyu. Namun demikian, tidak semua dalil bisa dipahami secara literal. Ada yang qath’i (pasti), ada yang dzanni (dugaan kuat). Oleh karena itu, pendalaman ilmu ushul fiqh menjadi kunci untuk menimbang kekuatan dalil dan memahami konteksnya.


Contoh: larangan riba dalam Al-Qur’an sangat eksplisit, namun penerapannya di zaman modern seperti pada bunga bank, transaksi obligasi, atau e-money memerlukan interpretasi mendalam yang melibatkan kaidah fiqh dan ijtihad.


 2. Nalar yang Kokoh: Rasionalitas Syariat

Syariat bukanlah kumpulan aturan irasional. Islam memuliakan akal dan menjadikannya alat penting dalam memahami wahyu. Maka produk hukum syariat yang baik harus mampu diterima oleh akal sehat. Dalam Islam, tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal yang lurus. Sebaliknya, wahyu menuntun akal untuk berpikir lurus dan objektif.


Imam Ghazali menyatakan bahwa syariat dan akal itu ibarat dua sayap burung; keduanya dibutuhkan agar Islam bisa terbang tinggi namun tetap seimbang. Jika satu diabaikan, maka timbul kebutaan beragama atau kegersangan spiritual.


 3. Fakta Empiris: Realitas Kehidupan

Hukum syariat tidak bisa ditegakkan secara utuh tanpa melihat realitas sosial dan kondisi manusia. Maka, maqashid al-syari’ah (tujuan syariat) menjadi instrumen penting dalam menjembatani antara nash dan realitas. Dalam proses istinbath (penggalian hukum), seorang mujtahid harus mempertimbangkan konteks lokal, adat, budaya, dan dinamika zaman.

Contoh: hukum bekerja bagi perempuan, misalnya, tidak bisa diputuskan hanya dengan memegang satu hadis atau ayat secara kaku. Diperlukan pemahaman konteks sosial, potensi maslahat dan mafsadat, serta kemampuan adaptif dalam bingkai nilai-nilai Islam.

 4. Dasar yang Saintifik: Dialog dengan Ilmu Pengetahuan

Terakhir, syariat tidak boleh anti-ilmu. Justru sebaliknya, syariat harus berdialog aktif dengan sains dan teknologi. Banyak aspek ibadah dan muamalah yang kini ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Penentuan awal bulan hijriyah, pengelolaan zakat pertanian modern, hingga fatwa tentang rekayasa genetika—semuanya menuntut pemahaman saintifik yang kuat.


Tanpa keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan, syariat akan kehilangan daya hidupnya. Sementara dengan pendekatan ilmiah, produk hukum Islam akan lebih aplikatif, akurat, dan bisa menjawab tantangan zaman.

Syariat yang berasal dari Langit yang Membumi.

Syariat Islam bersumber dari langit, tetapi diturunkan untuk membumi. Ia adalah wahyu ilahi yang hadir untuk manusia dengan segala kompleksitasnya. Maka setiap produk syariat harus selalu berpijak pada dalil, dipahami dengan akal sehat, diterapkan dalam realitas, dan dikonfirmasi oleh ilmu. Dengan demikian, syariat akan menjadi cahaya yang membimbing manusia, bukan beban yang membelenggu mereka.

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu membawa kebenaran, agar engkau mengadili manusia dengan apa yang telah Allah ajarkan kepadamu." (QS. An-Nisa: 105)


Selamat! Anda berhasil menambah wawasan dan literasi anda, teruslah membaca. 

Baca juga: 

Tawazun - Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat


Tawazun – Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat

Materi Kajian Islam

Tema: Tawazun – Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat

Mukadimah

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kehidupan dunia dan akhirat sebagai ujian bagi manusia. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, keluarganya, sahabatnya, dan kita semua yang istiqamah di jalan Islam.

Pada kajian kali ini, kita akan membahas tema penting dalam kehidupan seorang Muslim, yaitu Tawazunkeseimbangan antara urusan dunia dan akhirat.


1. Islam Mengajarkan Keseimbangan

Allah ﷻ berfirman:

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia."
(QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini menjelaskan bahwa seorang Muslim harus berorientasi kepada akhirat, tetapi tidak melupakan dunia. Dunia adalah tempat kita beramal, tempat menanam untuk panen di akhirat.


2. Dunia dan Akhirat dalam Timbangan Islam

a. Dunia itu permainan dan senda gurau
Allah ﷻ berfirman:

"Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?"
(QS. Al-An’am: 32)

b. Akhirat itu lebih baik dan lebih kekal

"Sedangkan kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal."
(QS. Al-A’la: 17)

Orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan hidup akan sia-sia dalam senda gurau. Tapi orang yang menjadikan akhirat sebagai tujuan, hidupnya akan penuh makna dan arah.


3. Dunia Bukan untuk Ditolak, Tapi Dikelola

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh orang saleh."
(HR. Ahmad, sanad hasan)

Islam tidak melarang kita kaya, sukses, berkarier, atau mengejar cita-cita duniawi. Tapi semua itu harus dalam kerangka mencari ridha Allah.

➡ Dunia di tangan, akhirat di hati.


4. Peran Muslim yang Seimbang (Tawazun)

Kata Imam Ibnu Qayyim rahimahullah:
“Tidak sempurna keadaan seorang hamba sampai dia memiliki keseimbangan antara hak Rabb-nya, hak dirinya, dan hak manusia lainnya.”

Ciri Muslim yang tawazun:

  • Rajin ibadah, tapi juga aktif bekerja

  • Mengurus keluarga, tapi juga hadir di majelis ilmu

  • Membangun dunia, tapi tidak lupa investasi akhirat


5. Hadits yang Menguatkan

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir."
(HR. Muslim)

Bagi orang beriman, dunia ini tempat ujian. Maka tidak boleh terlena. Tapi juga tidak boleh ditinggalkan, karena dari dunia lah kita bisa bersedekah, berdakwah, menolong, dan memperjuangkan agama Allah.


Penutup: Hidup yang Tawazun adalah Hidup yang Berkah

Mari kita jaga keseimbangan ini:

  • Dunia kita kelola dengan baik, tapi bukan tujuan

  • Akhirat kita jadikan orientasi utama

"Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat dan berusaha ke arahnya dengan sungguh-sungguh, sedang dia mukmin, maka usaha mereka itu akan dibalas dengan baik."
(QS. Al-Isra’: 19)

Pesan akhir:
✔ Jangan terlalu cinta dunia, karena ia akan meninggalkan kita.
✔ Jangan lalaikan akhirat, karena di sanalah kita akan tinggal selamanya.


Quote Penutup untuk Disampaikan ke Jamaah:

"Hidup di dunia ini hanya sekali. Pastikan setiap langkah kita punya arti… bukan hanya untuk dunia, tapi untuk kehidupan abadi di akhirat nanti."


Terima kasih telah membaca tulisan ini, selamat! Semoga anda mendapat pencerahan. Ayo teruskan membaca tulisan lainnya! 

Baca juga: Kesombongan, warisan iblis yang menyesatkan!

6/13/2025

Manusia Sebagai Khalifah: Amanah Ilahiah dalam Bayang-Bayang Kerusakan dan Kekerasan


Ketika Allah SWT berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi" para malaikat merespon dengan penuh keheranan: "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" (QS. Al-Baqarah: 30). Dialog ini bukan bentuk pembangkangan malaikat, namun ekspresi rasa ingin tahu yang dalam atas keputusan ilahi yang tampaknya paradoksal—menyerahkan amanah suci kepada makhluk yang berpotensi merusak bumi dan saling membunuh.


Dan faktanya, sejarah membenarkan kekhawatiran malaikat. Manusia, dengan segala kecerdasannya, justru sering menjadikan bumi ladang eksploitasi, konflik, dan kekerasan. Dari perang dunia yang meluluhlantakkan jutaan jiwa, hingga krisis iklim global akibat kerakusan industri dan ketamakan ekonomi—jejak-jejak kerusakan itu nyata dan masih berlangsung.


Kerusakan Bumi: Kekhalifahan yang Dilupakan


Krisis lingkungan hari ini menjadi bukti nyata bagaimana manusia abai terhadap perannya sebagai khalifah. Hutan tropis ditebang, lautan tercemar limbah plastik, udara dipenuhi karbon dari kendaraan dan pabrik. Tambang nikel, emas, dan batu bara menggali isi perut bumi tanpa memperhatikan kelestariannya, seperti yang terjadi di banyak tempat, termasuk Indonesia. Pencemaran, perubahan iklim, dan kepunahan spesies adalah akibat langsung dari ulah manusia yang lupa bahwa kekuasaan atas bumi datang bersama amanah, bukan kebebasan absolut.


Padahal, Allah telah memperingatkan dalam QS. Ar-Rum: 41, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia..." Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan bukanlah takdir, melainkan pilihan yang lahir dari ketidakmampuan manusia menjaga keseimbangan yang Allah tetapkan.


Menumpahkan Darah: Kekerasan yang Tak Pernah Usai


Selain kerusakan, malaikat juga menyebut sifat manusia yang senang menumpahkan darah. Dan hari ini, dunia menyaksikan berbagai konflik berdarah dari Gaza, Ukraina, hingga kekerasan atas nama agama, politik, dan ras. Bahkan dalam skala kecil, kekerasan hadir dalam rumah tangga, sekolah, hingga dunia maya—melalui perundungan digital, ujaran kebencian, dan cancel culture yang membunuh karakter seseorang.


Manusia sering kali menjadikan kekuasaan, perbedaan, atau sekadar ego sebagai alasan untuk menindas dan mencederai sesamanya. Padahal, Allah menciptakan manusia dalam keragaman untuk saling mengenal, bukan saling meniadakan (QS. Al-Hujurat: 13).


Tapi Allah Tahu Apa yang Tidak Diketahui Malaikat


Namun Allah menutup perdebatan itu dengan satu kalimat agung: *"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."* Kalimat ini menjadi jembatan harapan. Di balik potensi destruktifnya, manusia juga memiliki potensi besar untuk membangun, mencipta, dan merawat. Dari manusia lahir peradaban, ilmu pengetahuan, seni, dan kasih sayang. Manusia bisa menjadi hamba yang paling rendah, tetapi juga bisa naik menjadi makhluk yang lebih mulia dari malaikat, ketika ia mampu menjalankan amanah sebagai khalifah dengan penuh tanggung jawab.


Refleksi Kekinian: Sudahkah Kita Menjalankan Peran sebagai Khalifah?


Pertanyaan besar bagi kita hari ini adalah: apakah kita sedang menjadi khalifah yang Allah ridai, atau justru menjadi makhluk yang membenarkan kekhawatiran para malaikat?


Menjadi khalifah bukan tentang memegang kuasa, tapi tentang merawat bumi, menegakkan keadilan, dan menjaga perdamaian. Itu berarti menolak menjadi bagian dari sistem yang merusak lingkungan, menolak ikut dalam siklus kekerasan, dan aktif menghadirkan kebaikan di manapun kita berada. Bahkan sekecil menjaga kebersihan, menanam pohon, hingga berkata baik di media sosial adalah bagian dari implementasi kekhalifahan itu.


Manusia memang memiliki dua sisi: konstruktif dan destruktif. Tapi Allah memberi kita akal, hati nurani, dan petunjuk untuk memilih jalan yang benar. Jika kita ingin tetap layak menyandang gelar khalifah, maka sudah saatnya kita kembali kepada fitrah sebagai penjaga bumi, bukan perusaknya; sebagai pembawa damai, bukan penumpah darah. Sebab amanah ini bukan sekadar tugas, tapi juga penentu derajat kita di sisi Allah SWT. 


Anda hebat, telah menambah wawasan dan ilmu. Ayo teruskan di artikel berikutnya

Kesombongan: Warisan Iblis yang Menyesatkan


Kesombongan adalah akar dari banyak keburukan. Ia bukan sekadar sikap buruk—ia adalah sifat iblis. Dalam kisah penciptaan manusia yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an, Iblis dikutuk dan terusir dari rahmat-Nya bukan karena tidak mengenal Allah. Iblis adalah makhluk yang beribadah selama ribuan tahun. Ia tahu betul siapa Tuhannya. Namun, ia jatuh ke dalam kehinaan karena kesombongan.

Ketika Allah memerintahkan seluruh makhluk untuk sujud kepada Adam, sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan atas kemuliaan manusia yang Dia ciptakan, Iblis menolak. Ia berkata:

"Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah."
(QS. Al-A'raf: 12)

Inilah akar dari kesombongan: merasa lebih tinggi, lebih mulia, lebih pantas daripada yang lain. Iblis bukan tidak percaya kepada Allah. Tapi ia menolak perintah Allah karena merasa dirinya lebih baik dari Adam. Dan karena itu, Allah berfirman:

"Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah makhluk yang terkutuk."
(QS. Shad: 77)

Kesombongan membuat seseorang buta terhadap kebenaran dan tuli terhadap nasihat. Ia tidak menerima kebenaran, bahkan ketika ia tahu itu benar, hanya karena kebenaran itu datang dari sosok yang ia anggap lebih rendah darinya. Inilah bahaya kesombongan.

Nabi Muhammad ﷺ pun memperingatkan kita dalam sebuah hadits:

"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji zarrah (atom)."
(HR. Muslim, no. 91)

Hadits ini menjadi peringatan keras. Sekecil apa pun kesombongan, jika tidak dibersihkan dari hati, bisa menjadi penghalang masuk surga. Bahkan sebesar biji zarrah, sesuatu yang nyaris tak terlihat, tetap dianggap berbahaya di sisi Allah.

Kesombongan bisa menyelinap diam-diam. Kadang ia bersembunyi di balik ibadah, ilmu, status sosial, atau bahkan pakaian sederhana. Kita merasa lebih alim, lebih zuhud, lebih suci dari orang lain. Padahal, siapa tahu justru orang yang kita anggap rendah, lebih mulia di sisi Allah.

Kesombongan telah menjatuhkan Iblis dari langit. Maka siapa kita, jika masih berani membanggakan diri? Kemuliaan sejati tidak datang dari meninggikan diri, tapi dari kerendahan hati dan kepatuhan kepada Allah. Semakin seseorang mengenal Tuhannya, semakin ia menyadari betapa kecil dirinya.

Baca juga: Manusia sebagai khalifah dan sifat merusak dan menumpahkan darah sesamanya.

Jadi Manusia Asik di Sosmed: Akhlak Karimah Gaya Anak Zaman Now


Sekarang siapa sih yang nggak main sosmed? Instagram, TikTok, Twitter (X), sampai status WA pun udah jadi makanan sehari-hari. Tapi kadang, kita lupa kalau jempol juga bisa jadi sumber dosa — kalau nggak dikontrol.

Makanya, penting banget buat kita tetap punya akhlak karimah alias akhlak yang baik dan mulia, bahkan di dunia maya. Bukan cuma soal image, tapi soal attitude dan tanggung jawab juga.


1. Jangan Asal Share, Cek Dulu Bro!

Kadang kita iseng scroll, lihat berita viral, langsung share. Padahal belum tentu bener! Bisa aja itu hoaks, fitnah, atau malah bikin orang panik.

Kata Nabi Muhammad SAW:
“Cukup seseorang dikatakan berdusta jika ia menyampaikan segala yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Jadi, mending saring sebelum sharing ya!


2. Komentar Santun, Bukan Nyinyir

Di kolom komentar, banyak banget yang merasa jadi paling benar. Padahal kalau salah ngetik, bisa jadi dosa jalan terus.

Kalau mau kasih pendapat, sopan aja, gausah nyolot. Nggak usah ngata-ngatain, cukup bilang, “Maaf ya, menurut aku beda.” Simpel, nggak ribet, dan tetap elegan.


3. Ngomongin Aib? Nggak Keren, Bro!

Ngomongin aib orang di sosmed tuh kayak nyuci baju kotor tapi diumbar ke seluruh kampung.

Daripada ngegosip, mending jaga privasi orang. Biar kita juga dijaga aibnya sama Allah.


4. Debat? Oke. Tapi Jangan Bakar-bakaran

Kalau beda pendapat? Itu normal. Tapi jangan sampe adu bacot dan saling hina.

Ngobrol santai, diskusi sehat. Inget, yang kamu debat itu manusia juga, bukan musuh bebuyutan.


5. Pamer? Hati-hati Kena Riya

Posting makanan, liburan, outfit — boleh banget. Tapi niatnya benerin dulu.

Kalau tujuannya biar dipuji terus, hati-hati... bisa jatuh ke riya alias pengen dipuji manusia, bukan Allah. Dikit-dikit check-in mewah, pamer sedekah. Niat baik bisa rusak karena show-off.


6. Jadilah Penyebar Vibes Positif

Daripada nyebar hate, lebih keren kalau kita jadi influencer kebaikan.

Posting kata-kata bijak, sharing ilmu, semangatin temen yang lagi down — itu semua bisa jadi pahala lho! Sosmed jadi ladang amal, bukan ladang masalah.


 Jempolmu Tanggung Jawabmu

Inget, di balik layar ada Allah yang Maha Melihat. Apa yang kita ketik, like, dan share, semua bakal dipertanggungjawabkan. Yuk, jadi netizen yang berkelas: santun, cerdas, dan penuh berkah!

6/12/2025

Eiffel, Si Nyonya Besar: Dari Heroisme Revolusi Prancis Sampai Ikon Merah Jambu




Di tengah bentangan langit Paris, berdirilah sosok besi yang tak tergoyahkan oleh zaman: Menara Eiffel, atau dalam julukan puitisnya, “La Dame de Fer”Si Nyonya Besi. Lebih dari sekadar konstruksi arsitektural, menara ini adalah saksi hidup perjalanan sejarah Prancis, dari semangat heroik Revolusi 1789 hingga transformasi budaya pop masa kini. Ia adalah simbol, cermin, dan panggung dari perubahan zaman.

Monumen untuk Sebuah Revolusi

Pembangunan Menara Eiffel dimulai pada 1887, satu abad setelah Revolusi Prancis meletuskan bara kebebasan dan kesetaraan. Diperkenalkan sebagai bagian dari Pameran Dunia 1889, menara ini tidak hanya menjadi kebanggaan teknologis, tetapi juga sebuah monumen tak resmi untuk semangat revolusi. Melalui tinggi dan kemegahannya, Eiffel seolah berbicara kepada dunia: inilah Prancis yang baru — kuat, modern, dan berdiri atas kebebasan yang diperjuangkan dengan darah.

Di masa itu, kehadirannya menimbulkan kontroversi. Para sastrawan dan seniman ternama menyebutnya "menara besi buruk rupa". Namun Gustave Eiffel, sang insinyur dan visioner, bertahan. Dalam pendiriannya, ada keberanian yang serupa dengan para revolusioner: melawan arus, menantang norma, dan membuktikan kebenaran bukan dengan retorika, melainkan dengan keteguhan dan karya nyata.

Menara Besi yang Jadi Denyut Kehidupan

Setelah bertahan dari kritik, Eiffel menjelma menjadi pusat denyut Paris — dari menara pemancar radio saat Perang Dunia, hingga tempat proposal romantis di masa damai. Ia menjadi simbol Paris yang tak bisa dipisahkan dari lanskap kota maupun batin bangsa. Dalam perang, menara ini diam, tapi berjasa. Dalam damai, ia bersinar, menjadi tempat pertemuan, perayaan, dan pelarian.

Namun Menara Eiffel tidak membeku dalam kejayaan masa lalu. Ia hidup, terus berubah, merespons zaman. Salah satu contohnya adalah ketika menara ini disorot cahaya merah jambu, merayakan kampanye kesadaran kanker payudara atau dukungan terhadap hak-hak perempuan. Dari heroisme maskulin revolusi, Eiffel kini juga merangkul simbol femininitas dan keberagaman — sebuah metamorfosis yang membanggakan.

Ikon Merah Jambu: Simbol Baru Kemanusiaan

Ketika cahaya merah jambu menyelimuti rangkaian besi itu, Eiffel bukan hanya menara. Ia menjadi pernyataan. Warna merah jambu, yang dahulu dianggap lembut dan ‘lemah’, kini menjadi warna keberanian — melawan penyakit, diskriminasi, dan ketidakadilan. Dengan tampilannya yang baru, Eiffel memberi pesan bahwa kekuatan bisa datang dalam bentuk yang lembut, dan keindahan bisa bersuara lantang.

Menara ini tak hanya milik Prancis lagi. Ia milik dunia — menjadi latar foto jutaan wisatawan, inspirasi para seniman, bahkan emoji di percakapan daring. Ia hadir di hati mereka yang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Paris. Ikon global yang pernah lahir dari luka sejarah, kini bersinar sebagai lambang harapan dan inklusi.

 Dari Baja ke Makna

Menara Eiffel adalah tubuh dari besi, tapi jiwanya manusia. Ia lahir dari ambisi dan keberanian, tumbuh dalam badai kritik, dan matang sebagai simbol yang lentur mengikuti zaman. Dari semangat revolusioner abad ke-18 hingga sorotan merah jambu abad ke-21, Si Nyonya Besar ini telah menunjukkan bahwa sejarah bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dijadikan dasar melangkah ke masa depan yang lebih berani, lebih manusiawi.

Skeptisisme Modern: Jejak Lama dalam Wajah Baru

 


Pada masa lalu, propaganda ideologi komunis memiliki satu corak yang cukup menonjol: menumbuhkan sikap skeptis terhadap agama, khususnya praktik-praktik spiritual seperti doa. Di balik semangat revolusionernya, komunisme klasik berusaha mengikis keyakinan akan hal-hal metafisik dan menggantinya dengan iman baru kepada negara, partai, dan logika materialisme historis. Dalam banyak narasi, terutama di masa pendidikan ideologis yang ketat, doa dianggap sebagai aktivitas sia-sia. Seorang anak yang berdoa dianggap memelihara harapan palsu, sedangkan anak yang "meminta permen pada ibu guru komunis" akan langsung mendapat hasil nyata — simbol bahwa tindakan material dianggap lebih relevan daripada spiritualitas.


Namun, komunis gaya baru tidak lagi datang dengan palu dan arit yang mencolok, melainkan menyusup melalui alur-alur pemikiran kontemporer yang tampaknya rasional dan kritis. Mereka tidak lagi menyerang agama secara frontal, melainkan melalui jalan skeptisisme sistematis — semacam dekonstruksi nilai yang berujung pada relativisme moral. Mereka memutar logika hingga nilai-nilai seperti pengorbanan, kesetiaan, kesucian, dan keadilan tidak lagi punya dasar yang tetap, karena dianggap produk subjektif budaya atau konstruksi sosial semata.


Skeptisisme semacam ini bukanlah sekadar keraguan metodologis yang sehat dalam berpikir ilmiah. Ia telah menjadi ideologi tersendiri — mengajarkan bahwa tidak ada kebenaran hakiki, tidak ada nilai yang sakral, dan tidak ada yang layak diperjuangkan selain "kebebasan" untuk meragukan segalanya. Dalam ranah pendidikan, ini hadir lewat kurikulum yang menolak moralitas objektif dan menggantinya dengan teori nilai netral. Di media, hadir dalam bentuk satir yang terus-menerus mendekonstruksi tokoh agama, lembaga sosial, dan prinsip-prinsip kebenaran. Bahkan dalam ranah sosial, skeptisisme ini membuat masyarakat mulai enggan percaya pada makna kehidupan yang lebih tinggi di luar dunia fisik.


Mereka yang masih percaya bahwa doa punya kekuatan transendental, bahwa hidup memiliki makna spiritual, atau bahwa ada nilai-nilai abadi yang melampaui zaman, dicap sebagai kuno, dogmatis, atau tertinggal. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa kemajuan besar peradaban manusia lahir dari nilai-nilai yang justru dijaga dan diyakini — bukan karena semuanya bisa dibuktikan secara empiris, tetapi karena manusia tetap butuh arah moral dan spiritual di tengah gelombang perubahan.


Dalam situasi ini, peran pendidikan spiritual dan moral menjadi semakin penting. Bukan dalam bentuk dogmatisme buta, tapi sebagai benteng terhadap nihilisme yang menggerogoti kepercayaan kita terhadap makna hidup. Anak-anak perlu diajarkan bahwa ada hal-hal yang tak terlihat tapi nyata — seperti cinta, doa, pengharapan, dan kebaikan — yang mungkin tidak langsung terasa hasilnya seperti permen dari guru, tetapi memiliki daya yang jauh lebih besar dalam membentuk karakter dan martabat manusia.


Komunisme gaya baru tak selalu berbicara dengan jargon revolusi. Terkadang ia berbisik halus dalam seminar filsafat atau unggahan media sosial. Tapi tujuannya tetap sama: menghapus fondasi-fondasi moral dan spiritual masyarakat agar lebih mudah dibentuk ulang sesuai agenda ideologis tertentu. Kita perlu waspada — bukan dengan paranoia, tapi dengan kesadaran kritis dan peneguhan kembali terhadap nilai-nilai luhur yang menjadi akar jati diri bangsa dan peradaban.


Centro Buku Bekas 

#centrobukujogja

#sarjonoranudimedja

6/11/2025

Overthinking Boleh, Tapi Jangan Lupa Syariat!



Assalamu'alaikum wr. wb.

Halo sobat Gen Z yang kece badai! 

Hari ini kita ngobrol santai yuk, soal sesuatu yang sering banget kita alami: OVERTHINKING

Yang pernah overthinking, angkat tangannya!

Yang overthinking cuma gara-gara chat nggak dibales… atau habis posting story langsung nyesel… kita satu frekuensi. 

Tapi nih ya, overthinking itu nggak selalu salah. Asal… tahu batasnya dan tetap "on track sama syariat Islam. "

1. Overthinking Itu Manusiawi, Tapi Jangan Kebanyakan

Nabi Muhammad SAW juga pernah ngalamin galau.

Tapi bedanya, beliau selalu balikin semuanya ke Allah.

Kalau kita overthinking tapi malah makin jauh dari Allah, nah itu yang bahaya!

Contoh overthinking positif:

“Gue takut gagal, makanya gue belajar lebih keras.”

“Gue takut dosa, jadi gue mikir ulang sebelum ngechat dia malem-malem.”

Kalau overthinking-nya bikin kamu makin hati-hati dan dekat ke Allah, itu overthinking syar’i.

2. Jangan Baper Sama Takdir

Kadang overthinking muncul gara-gara kita pengen semua sesuai maunya kita.

Padahal hidup ini bukan Netflix—nggak semua bisa kita skip, rewind, atau control.

QS. Al-Baqarah: 216

Boleh jadi kamu benci sesuatu padahal itu baik untukmu, dan boleh jadi kamu suka sesuatu padahal itu buruk untukmu.

Jadi, kalau lo udah usaha tapi hasilnya beda dari ekspektasi, bukan waktunya overthinking sampe stress, tapi waktunya bilang:

“Ya Allah, gue serahin semuanya ke Engkau.”**

3. Overthinking yang Bikin Jauh dari Allah? Cut Aja Bro!

Kalau overthinking lo bikin:

  • Malas sholatM
  • Mager ibadahM
  • Makin insecure sama diri sendiri

Itu tandanya lo harus STOP dan RESET.

Ganti dengan:

Curhat sama Allah lewat doa & tahajud

Tulis isi hati di jurnal sambil zikir

Cari circle yang ngingetin lo ke jalan lurus

4. Tips Hadapi Overthinking ala Gen Z + Syariat


Doa dan dzikir: Jangan remehkan kekuatan doa.

Ngaji atau dengerin kajian ringan: Banyak loh kajian yang udah dibikin ala Gen Z di YouTube & TikTok.

Kurangi scroll medsos berlebihan: Karena overthinking kadang datang dari bandingin diri sendiri sama hidup orang lain.

Curhat ke orang yang bisa dipercaya: Termasuk ustadz, guru ngaji, atau temen yang bisa kasih nasihat syar’i.

So guys, overthinking itu wajar, asal jangan bikin kita jauh dari Allah.

Pakai overthinking lo buat muhasabah, bukan malah nyeret ke jurang stress dan dosa.

Overthinking boleh, tapi harus sesuai syariat.

Karena Islam bukan cuma soal ritual, tapi juga mental.

Semangat ya, sobat hijrah Gen Z!

Tetap waras, tetap taat.

Wassalamualaikum wr. wb. 


6/07/2025

𝐈𝐝𝐮𝐥 𝐐𝐮𝐫𝐛𝐚𝐧: 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐡𝐢 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐞𝐧𝐝𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐨𝐫𝐛𝐚𝐧𝐚𝐧 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐊𝐞𝐩𝐞𝐝𝐮𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐧𝐤𝐥𝐮𝐬𝐢𝐟



Idul Qurban, yang juga dikenal sebagai Idul Adha, adalah salah satu Hari Raya dalam Islam yang punya makna mendalam. Lebih dari sekadar penyembelihan hewan kurban, hari raya ini mengajarkan kita tentang 𝘛𝘳𝘢𝘯𝘴𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘴𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘰𝘳𝘣𝘢𝘯𝘢𝘯 dan pentingnya 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘮𝘣𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘬𝘭𝘶𝘴𝘪𝘧 di tengah masyarakat.

𝐌𝐚𝐤𝐧𝐚 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐞𝐧𝐝𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐨𝐫𝐛𝐚𝐧𝐚𝐧

Inti dari Idul Qurban terletak pada kisah Nabi Ibrahim AS yang bersedia mengorbankan putranya, Ismail AS, sebagai bentuk ketaatan mutlak kepada Allah SWT. Peristiwa ini bukan tentang tindakan penyembelihan itu sendiri, melainkan tentang 𝘬𝘦𝘪𝘬𝘩𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘵𝘪, 𝘬𝘦𝘴𝘢𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯, dan 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘦𝘳𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘯𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢 kepada kehendak Ilahi. Pengorbanan ini melampaui batas materi dan duniawi, membawa kita pada pemahaman tentang 𝘯𝘪𝘭𝘢𝘪-𝘯𝘪𝘭𝘢𝘪 𝘴𝘱𝘪𝘳𝘪𝘵𝘶𝘢𝘭 yang lebih tinggi. Ini adalah pengingat bahwa segala sesuatu yang kita miliki sejatinya adalah titipan dari Tuhan, dan kesediaan untuk melepaskannya demi ketaatan adalah bentuk ibadah tertinggi.

Pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail mengajarkan kita bahwa ketaatan sejati kadang menuntut kita untuk melepaskan hal-hal yang paling kita cintai. Namun, di balik pengorbanan tersebut, terdapat 𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘩𝘢𝘯 dan 𝘬𝘦𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘐𝘭𝘢𝘩𝘪. Ini adalah esensi transendensi: melampaui batasan diri dan duniawi untuk mencapai sesuatu yang lebih besar dan abadi. Inilah makna kurban yang secara harfiah bermakna "mendekat".

𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐊𝐞𝐭𝐚𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐢𝐯𝐢𝐝𝐮 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐣𝐮 𝐊𝐞𝐩𝐞𝐝𝐮𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐒𝐨𝐬𝐢𝐚𝐥

Aspek penting lain dari Idul Qurban adalah distribusi daging kurban kepada mereka yang membutuhkan. Setelah penyembelihan, daging dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk yang berkurban dan keluarganya, sepertiga untuk kerabat dan tetangga, dan sepertiga untuk fakir miskin. Praktik ini secara nyata menunjukkan transisi dari pengorbanan personal (ketaatan individu) menuju aksi sosial.

Pembagian daging kurban ini bukan sekadar rutinitas, melainkan wujud nyata dari 𝘴𝘰𝘭𝘪𝘥𝘢𝘳𝘪𝘵𝘢𝘴 dan 𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵𝘪. Ini adalah jembatan yang menghubungkan mereka yang mampu dengan mereka yang kurang beruntung, memastikan bahwa kegembiraan Idul Qurban juga dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan berbagi, kita tidak hanya memenuhi syariat, tetapi juga 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘬𝘶𝘢𝘵 𝘪𝘬𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘴𝘰𝘴𝘪𝘢𝘭 dan 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨𝘪 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯. 

𝐌𝐞𝐧𝐮𝐦𝐛𝐮𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐩𝐞𝐝𝐮𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐧𝐤𝐥𝐮𝐬𝐢𝐟

𝘒𝘰𝘯𝘴𝘦𝘱 𝘬𝘦𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘬𝘭𝘶𝘴𝘪𝘧 menjadi sangat relevan dalam konteks Idul Qurban. Inklusivitas berarti merangkul semua, tanpa memandang latar belakang, status sosial, atau keyakinan. Daging kurban dibagikan kepada siapa saja yang membutuhkan, tanpa diskriminasi. Ini adalah manifestasi dari ajaran Islam yang mengedepankan 𝘳𝘢𝘩𝘮𝘢𝘵 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘦𝘴𝘵𝘢 𝘢𝘭𝘢𝘮. 

Idul Qurban mendorong kita untuk melihat melampaui lingkaran terdekat kita dan menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan orang lain. Ini adalah panggilan untuk berbagi 𝘳𝘦𝘻𝘦𝘬𝘪, meringankan beban, dan  kebahagiaan. Kepedulian yang inklusif berarti bahwa semangat pengorbanan tidak hanya berhenti pada ketaatan ritual, tetapi meresap menjadi gaya hidup yang peduli terhadap sesama.

𝐈𝐝𝐮𝐥 𝐐𝐮𝐫𝐛𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐙𝐚𝐦𝐚𝐧

Di era modern, semangat Idul Qurban memiliki relevansi yang semakin besar. Di tengah hiruk pikuk materialisme dan individualisme, Idul Qurban mengingatkan kita akan pentingnya berbagi dan peduli terhadap sesama. Perayaan ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali makna sejati dari kekayaan—bukan hanya yang bersifat materi, tetapi juga kekayaan hati dan kemurahan jiwa. 

Dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai transendensi pengorbanan dan kepedulian yang inklusif, Idul Qurban dapat menjadi momentum untuk memperkuat persatuan, menumbuhkan empati, dan membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab. Ini adalah ajakan untuk tidak hanya berkurban dengan harta, tetapi juga 𝐛𝐞𝐫𝐤𝐮𝐫𝐛𝐚𝐧 dengan waktu, tenaga, dan pikiran untuk kebaikan bersama.

#iduladha #idulqurban #hewankurban #pengorbanan #inklusif #kepedulian 

6/06/2025

Mengenal Ustadz Yahya Waloni


 
Ustadz Yahya Waloni 

Dari Pendeta Kristen Menjadi Pendakwah Islam Kontroversial

Ustadz Muhammad Yahya Waloni adalah salah satu tokoh publik yang cukup dikenal di Indonesia karena kisah hidupnya yang unik dan kontroversial. Lahir pada 30 November 1970 di Manado, Sulawesi Utara, ia mengawali kehidupannya sebagai seorang Kristen taat dan bahkan pernah menjadi pendeta serta rektor di Sekolah Tinggi Theologia Calvinis Ebenhaezer, Sorong.

Perjalanan Spiritual: Dari Pendeta ke Mualaf

Titik balik dalam hidupnya terjadi pada tahun 2006 ketika Yahya Waloni memutuskan untuk memeluk agama Islam bersama istrinya. Proses mualafnya dibimbing oleh Komarudin Sofa, seorang pengurus Nahdlatul Ulama di Tolitoli, Sulawesi Tengah. Setelah menjadi Muslim, ia mengganti namanya menjadi Muhammad Yahya Waloni, dan nama keluarganya pun berubah mengikuti ajaran Islam. Keputusan ini membawa perubahan besar dalam hidupnya, baik secara pribadi maupun publik.

Gaya Ceramah dan Kontroversi

Setelah memeluk Islam, Yahya Waloni aktif berdakwah. Ia dikenal luas karena gaya bicaranya yang lantang, blak-blakan, dan penuh semangat. Ceramah-ceramahnya sering kali mengangkat isu-isu sensitif seperti hubungan antaragama, pemerintahan, dan kehidupan sosial umat Muslim di Indonesia.

Namun, gaya ceramahnya yang keras tidak jarang memicu kontroversi. Pada tahun 2022, ia dijatuhi hukuman lima bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena dianggap melakukan ujaran kebencian terhadap agama lain.

Wafat di Tengah Dakwah

Ustadz Yahya Waloni wafat pada 6 Juni 2025 ketika sedang menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Darul Falah, Makassar. Di tengah khutbah kedua, ia tiba-tiba terjatuh dan segera dilarikan ke rumah sakit. Sayangnya, nyawanya tidak tertolong. Berdasarkan keterangan keluarganya, Yahya sebelumnya sudah mengeluh sakit kepala dan memiliki riwayat penyakit jantung.

Warisan dan Kenangan

Yahya Waloni meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Selain itu, ia juga meninggalkan jejak kuat dalam dunia dakwah Indonesia — baik dari sisi inspiratifnya sebagai seorang mualaf, maupun perdebatan yang ditimbulkan dari isi ceramahnya. Bagi sebagian orang, ia adalah simbol keberanian dalam menyuarakan keyakinan. Namun, bagi yang lain, ia adalah sosok yang perlu diwaspadai karena retorika yang memicu ketegangan.

Yahya Waloni adalah contoh nyata bagaimana perjalanan hidup spiritual seseorang dapat mengubah arah hidup sepenuhnya. Ia meninggalkan warisan cerita tentang pencarian kebenaran, perubahan keyakinan, dan dinamika peran publik dalam masyarakat religius yang plural seperti Indonesia.

#yahyawaloni 

6/04/2025

Tips Mudah Memperkirakan Berat Daging Sapi

Mengetahui perkiraan berat daging sapi sangat penting, terutama saat hendak membeli, menjual, atau mempersiapkan hewan kurban. Berikut ini adalah beberapa tips praktis untuk memperkirakan berat daging sapi, baik saat masih hidup maupun setelah disembelih.

1. Gunakan Ukuran Tubuh untuk Menghitung Berat Hidup
Jika sapi masih hidup, kamu bisa memperkirakan berat badannya menggunakan ukuran lingkar dada dan panjang tubuh. Rumus yang sering digunakan adalah rumus Schaeffer:

 𝐑𝐮𝐦𝐮𝐬:

Berat Hidup (kg) = (Lingkar Dada² × Panjang Badan) / 10.815
 Keterangan:

Lingkar dada: Diukur di belakang kaki depan (dalam cm)

Panjang badan: Dari bahu hingga pangkal ekor (dalam cm)

𝐂𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡:
Jika lingkar dada 180 cm dan panjang badan 150 cm:

Berat hidup = (180² × 150) / 10.815 ≈ 449 kg
2. Hitung Perkiraan Berat Daging Bersih
Setelah sapi disembelih, tidak semua bagian bisa dikonsumsi. Umumnya, daging bersih hanya sekitar 40–45% dari berat hidup sapi.

 𝐏𝐞𝐫𝐤𝐢𝐫𝐚𝐚𝐧 𝐊𝐚𝐬𝐚𝐫:

Berat karkas (tanpa kepala, kulit, isi perut): ±50–55% dari berat hidup

Daging bersih siap konsumsi: ±40–45% dari berat hidup

 Contoh:
Sapi dengan berat hidup 500 kg →

Berat karkas: ±250–275 kg

Berat daging bersih: ±200–225 kg

3. Gunakan Tabel Estimasi Cepat
Berikut tabel cepat sebagai panduan praktis:

Berat Hidup (kg) Estimasi Daging Bersih (kg)
400 160–180
500 200–225
600 240–270
700 280–315

𝐓𝐢𝐩𝐬 𝐓𝐚𝐦𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧

✅ Jenis sapi seperti limousin dan simental cenderung menghasilkan lebih banyak daging.
✅ Sapi yang terlalu tua atau kurus akan menghasilkan daging lebih sedikit.
✅ Gunakan pita ukur khusus sapi agar hasil lebih akurat dan praktis.

Dengan tips di atas, kamu bisa lebih yakin memperkirakan berapa banyak daging yang bisa didapat dari seekor sapi, baik untuk kurban, pesta, atau keperluan usaha.

#tips #beratSapi #beratdagingqurban

6/02/2025

Khutbah idul Adha: Pengorbanan untuk Istiqomah pada kebenaran

 KHUTBAH PERTAMA

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

الْـحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ الْأَعْيَادَ لِلْمُسْلِمِينَ فُرْصَةً لِلذِّكْرِ وَالشُّكْرِ، وَشَهَادَةً عَلَى نِعْمَةِ التَّوْحِيدِ وَالْإِيمَانِ. نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَسْتَهْدِيهِ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.

أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوصِيكُمْ وَإِيَّايَ نَفْسِيَ الْخَاطِئَةَ بِتَقْوَى اللَّهِ، فَاتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْـحَمْدُ.

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kita berbagai kenikmatan dan karunia, terutama nikmat iman dan Islam. Pada hari ini kita berkumpul dalam rangka merayakan salah satu hari besar umat Islam, yakni Idul Adha, yang dikenal juga sebagai Hari Raya Kurban.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarga beliau, para sahabat, dan seluruh umatnya yang senantiasa mengikuti petunjuk beliau hingga hari kiamat.

Saya sebagai khatib, berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada jama'ah sekalian : “Bertakwalah kepada Allah, Bertakwalah, karena derajat kita ditentukan oleh derajat ketakwaan kita kepada Allah SWT.

Jama’ah yang dirahmati Allah,

Idul Adha bukan sekadar perayaan tahunan. Ia adalah pengingat tentang pengorbanan yang begitu agung dari seorang hamba Allah yang luar biasa: Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam. Seorang hamba yang Allah muliakan, tidak hanya karena ketakwaannya, tetapi karena kerelaannya mengorbankan segalanya demi kebenaran dan keimanan.

Bayangkan, seorang ayah yang lama menanti kehadiran seorang anak, akhirnya dianugerahi putra yang saleh, Ismail. Lalu Allah memerintahkan untuk menyembelih anak itu. Tanpa ragu, Nabi Ibrahim menjawab seruan itu. Inilah bentuk ketaatan total — pengorbanan atas apa yang paling dicintai demi memenuhi perintah Allah.

Allah berfirman:

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ ۝ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ ۝ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

“Maka tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, Kami panggillah dia: 'Wahai Ibrahim! Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.' Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

(QS. As-Saffat: 103-105)

Karena pengorbanannya itu, Allah memberi gelar mulia kepada Ibrahim:

وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا

“Dan Allah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya.”

(QS. An-Nisa: 125)

Ma’asyiral Muslimin,

Pengorbanan Ibrahim bukan hanya peristiwa masa lalu. Ia adalah teladan abadi bagi kita semua. Sebab hari ini, kita juga menghadapi ujian dan tantangan dalam mempertahankan iman dan berjalan di atas kebenaran. Tidak jarang, jalan kebenaran terasa sunyi, berat, dan penuh rintangan.

Kita hidup di zaman di mana menjaga kebenaran adalah perjuangan. Menjaga kejujuran di tengah budaya manipulasi. Menjaga amanah di tengah maraknya pengkhianatan. Menjaga kesucian diri di tengah arus pergaulan bebas. Menjaga ibadah di tengah kesibukan duniawi. Semua itu membutuhkan pengorbanan.

Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

“Akan datang kepada manusia suatu zaman, di mana orang yang sabar di atas agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.”

(HR. Tirmidzi)

Maka wahai kaum muslimin, jangan heran jika kebenaran terasa sepi, jika ketaatan terasa berat. Karena memang jalan menuju surga tidak pernah mudah. Dan karena itulah, Allah menjanjikan balasan besar bagi yang bertahan.


KHUTBAH KEDUA

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillaahil hamd.

Ma’asyiral Muslimin yang dimuliakan Allah,

Bertahan dalam kebenaran bukanlah perkara ringan. Ia menuntut pengorbanan harta, waktu, tenaga, bahkan perasaan. Bisa jadi kita kehilangan teman karena prinsip yang kita pegang. Mungkin kita tersingkir dari jabatan karena tidak mau kompromi dalam kemaksiatan. Namun yakinlah, tidak ada satu pun yang sia-sia di sisi Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (seraya berkata): ‘Jangan takut, jangan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan untuk kalian.’”

(QS. Fussilat: 30)

Imam Al-Ghazali rahimahullah berkata:

“Banyak manusia yang mengetahui kebenaran, tetapi hanya sedikit yang mau menempuhnya, karena jalan kebenaran adalah jalan sunyi yang membutuhkan pengorbanan.”

Jama’ah Idul Adha yang dirahmati Allah,

Hari raya kurban mengajarkan kepada kita semua bahwa iman itu butuh bukti, dan bukti itu adalah pengorbanan. Ibadah kurban hari ini adalah simbol, tapi makna yang lebih dalam adalah kesiapan kita untuk mengorbankan dunia demi akhirat, nafsu demi iman, kenyamanan demi keridhaan Allah.

Karena itu, mari kita koreksi diri:

Sudahkah kita berani meninggalkan yang haram demi ridha Allah?

Sudahkah kita mengorbankan sebagian harta kita di jalan dakwah?

Sudahkah kita berani jujur walau mengorbankan keuntungan dunia?

Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillaahil hamd.

Idul Adha adalah panggilan. Bukan hanya untuk menyembelih hewan kurban, tapi menyembelih kecintaan terhadap dunia yang melampaui kecintaan kepada Allah.

اللهم اجعلنا من عبـادك الذين يقيمون دينك، ويثبتون على الحق، ويضحون في سبيلك، ويتبعون سنة نبيك، اللهم آمين.

أقول قولي هذا، وأستغفر الله لي ولكم، فاستغفروه، إنه هو الغفور الرحيم.

Doa Penutup (Setelah Khutbah)

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ، وَثَبِّتْنَا عَلَى طَاعَتِكَ، وَاجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ، الَّذِينَ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ.

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.

وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَا

رَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.


#khutbahjumat #khutbahieduladha #kajian

Merugilah Anak yang Tak Menjadikan Orang Tua Renta sebagai Jalan ke Surga

Beberapa waktu lalu, beredar di media sosial sebuah video menyayat hati: seorang wanita tua duduk termenung di sebuah panti jompo. Matanya k...